Satu Tahun UU Cipta Kerja Belum Mampu Menjawab Masalah Tumpang Tindih Kewenangan di Laut
Satu Tahun UU Cipta Kerja Belum Mampu Menjawab Masalah Tumpang Tindih Kewenangan di Laut
JAKARTA—Undang-Undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau disebut dengan UU Cipta Kerja pada bulan Oktober ini genap berusia satu tahun. Draf final UU tersebut disahkan melalui Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu.
Selanjutnya draft final UU Ciptaker setelah diparipurnakan, kemudian diserahkan kepada Presiden oleh Pimpinan DPR pada tanggal 14 Oktober 2020 dan kemudian ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 2 November 2020 sehingga resmi menjadi UU No. 11 tahun 2020.
UU No 11 Tahun 2020 ini hadir sebagai strategi mereformasi regulasi yang akan dapat meningkatkan iklim investasi, membuat dunia usaha lebih bergairah dan dapat menjadi stimulus tercipta iklim berusaha yang lebih kondusif. UU Ciptaker telah merampingkan sekitar 79 undang-undang di Indonesia dan 1.239 pasal menjadi 15 BAB dan 174 Pasal yang mencakup 11 klaster dari 31 kementerian dan lembaga terkait.
Berbagai kemudahan diberikan pemerintah kepada sektor UMKM, Koperasi dan pengusaha dalam negeri dimaksudkan agar bisa lebih bersaing dan berkompetisi dalam berbagai bidang. Guspardi mengungkapkan, berdasarkan survey Global dari International Finance Corporation (IFC) kemudahan berbisnis/Index Easy of Doing Business ( EoDB ) Indonesia masih berada di peringkat 6 dari 10 negara Asean dan masih berada di peringkat 73 di dunia (2018).
Target pemerintah dengan UU Ciptakerja ini adalah bagaimana Indonesia bisa berada di peringkat ke-40 dunia. Peningkatan Indeks of Easy Doing Business Indonesia tersebut diharapkan juga mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) yang pada gilirannya akan dapat mendongkrak daya saing nasional.
Undang-undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran termasuk salah satu UU yang direvisi Pemerintah melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law tersebut. Di dalam RUU Cipta Kerja tersebut, setidaknya terdapat 60 lebih pasal di dalam UU Pelayaran tahun 2008 yang direvisi. Pasal sebanyak itu, ada yang diubah, ditambah dan sebagian ada yang dihapus.
Indonesian National Shipowners Association sejak awal ingin agar UU Cipta Kerja benar-benar mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sektor angkutan laut, lebih pro bisnis dan investasi serta mendorong pengembangan usaha angkutan laut nasional.
Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association Sugiman Layanto mengatakan asosiasinya mengapresiasi atas terbitnya UU Cipta Kerja. “Beberapa pasal di dalam UU Pelayaran telah direvisi menjadi lebih pro terhadap investasi dan pengembangan usaha angkutan laut dalam negeri, misalnya tentang sanksi. Kami sangat mengapresiasi,” katanya.
Meski demikian, revisi UU Pelayaran melalui UU Omnibus Law belum menjawab masalah serius di bidang pelayaran yakni tentang adanya tumpang tindih kewenangan di dalam penegakan hukum di laut, bahkan setahun setelah disahkan, belum ada perubahan dalam masalah ini.
Menurut dia, dengan jumlah kapal niaga nasional yang mencapai 27.567 unit yang dioperasikan oleh sekitar 3.612 perusahaan, baik SIUPAL maupun SIOPSUS, masalah penegakan hukum di laut dalam rangka memberikan rasa aman kepada kegiatan angkutan laut menjadi tantangan Pemerintah untuk mewujudkannya.
Pihaknya sejauh ini telah melakukan analisa mengenai masalah yang terjadi di dalam proses penegakan hukum di laut dan menemukan sejumlah masalah antara lain adanya tumpang tindih kewenangan di dalam pemeriksaan /penyidikan serta banyaknya instansi yang terlibat dalam proses pemeriksaan.
Saat ini, setidaknya terdapat 13 Undang-Undang yang memberikan otorisasi terhadap kegiatan penegakan hukum di laut dengan melibatkan 13 kelembagaan. “Sejak awal kami mengharapkan Omnibus Law menyasar masalah ini karena penyederhanaan penegakan hukum di laut sangat urgent,” ujarnya.
Masalah tumpang tindih kewenangan di dalam penegakan hukum di laut telah dibahas dalam Rapat Umum Anggota (RUA) Indonesian National Shipowners’ Association tahun 2019. Dalam rapat tersebut, para anggota menyepakatinya menjadi program kerja dan mendorong penyelesaiannya melalui RUU Omnibus Law.
Di sisi lain, ada beberapa pasal yang juga berpotensi merugikan industri pelayaran nasional, salah satunya adalah adanya pasal yang mengakomodasi keberadaan perusahaan asing, kapal berbendera asing dan awak kapal asing untuk beroperasi di perairan dalam negeri.
Di dalam RUU Cipta Kerja, kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia. (Red/Aj)
- By admin
- 08 Nov 2021
- 1235
- INSA