Pentingnya Dukungan Pajak Terhadap Angkutan Ekspor- Impor
Pentingnya Dukungan Pajak Terhadap Angkutan Ekspor- Impor
ANGKUTAN laut luar negeri Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar bagi kemakmuran rakyat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan bahwa volume ekspor dan impor Indonesia mencapai lebih dari 780 juta ton per tahun dimana kontribusi terbesar disumbangkan oleh ekspor batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) dan turuannya.
Dengan asumsi rata-rata nilai freight US$10, maka potensi devisa negara dari sektor angkutan laut mencapai US$7,8 miliar atau setara dengan Rp117 trilun (kurs Rp15.000). Sayangnya, kegiatan angkutan laut luar negeri Indonesia hingga saat ini masih dikuasai oleh perusahaan angkutan laut asing, sedangkan perusahaan angkutan laut nasional baru menggarap angkutan kontainer ke negara-negara di Asean seperti Singapura, Malaysia dan Thailand atau yang sebut dengan pelayaran feeder dengan total volume tidak lebih dari 5% per tahun. Dengan demikian, selama berpuluh-puluh tahun lamanya, Indonesia kehilangan potensi ekonomi, potensi penerimaan pajak, potensi devisa yang sangat besar dari sektor angkutan laut luar negeri.
Hingga saat ini, ekspor Indonesia ditopang oleh komoditas unggulan antara lain batu bara, crude palm oil (CPO), nikel dan bijih besi. Indonesia sendiri tercatat sebagai produsen utama komoditas batu bara dan CPO dunia. Data Kementerian ESDM tahun 2018 & 2019 menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia mencapai 413 juta ton & 610 juta ton, sedangkan ekspor CPO dan turunannya menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencapai 34,71 juta ton & 35,7 juta ton di tahun 2018 & 2019.
Selama ini, di dalam memanfaatkan potensi ekonomi angkutan laut luar negeri Indonesia, Pemerintah belum memberikan kebijakan yang eksklusif terhadap perusahaan angkutan laut nasional. UU No.17 tahun 2008 pasal 11 ayat 1 menegaskan bahwa “Kegiatan angkutan laut dari/dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.”
Padahal sejumlah negara di dunia sudah menerapkan prinsip cabotage atas angkutan ekspor sejumlah komoditasnya walaupun seyogyanya melanggar prinsip dasar WTO (World Trade Organization). Thailand diketahui menerapkan sistem cabotage yang mewajibkan penggunaan kapal berbendera Thailand untuk kegiatan angkutan ekspor beras.
Apa yang diterapkan di Thailand sesungguhnya cukup beralasan mengingat Negeri Gajah Putih ini adalah salah satu produsen beras terbesar di dunia. Malaysia juga segera menerapkan kebijakan di mana setiap kapal yang memperoleh kontrak angkutan impor komoditas batu bara untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik (power plant) milik Tenaga Nasional Bhd., wajib menjadi anggota MASA (Malaysia Shipowners Association) dan wajib menggunakan kapal berbendera Malaysia.
Sedangkan Amerika Serikat menerapkan prinsip cabotage atas angkutan ekspor komoditas gas alam cair atau LNG (Liquefied Natural Gas), bahkan pada 2030, Amerika Serikat mewajibkan penggunaan kapal berbendera Amerika dan dibangun di galangan dalam negeri untuk kegiatan angkutan LNG ekspor. Rusia juga tidak mau kalah. Negara tersebut juga mewajibkan penggunaan kapal berbendera Rusia untuk ekspor produk Crude Oil.
Indonesia baru benar-benar mulai melirik potensi ekonomi angkutan laut luar negeri Indonesia sejak terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No.82 tahun 2017 yang esensinya mewajibkan ekspor batu bara dan CPO serta impor beras menggunakan kapal yang dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Kebijakan ini seakan membuka jalan bagi mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Sayangnya, kebijakan ini tidak memperoleh dukungan penuh dari pemilik barang, terutama eksportir batu bara dan CPO sehingga ditunda dari seharusnya mulai dilaksanakan pada 1 Mei 2018 menjadi 1 Mei 2020 sesuai dengan Permendag No.71 tahun 2017 dan Permendag No.80 tahun 2018.
Selanjutnya, kebijakan tersebut kembali diganti dengan Permendag No.40 tahun 2020 dan baru berjalan beberapa bulan, kembali direvisi dengan Permendag No.65 tahun 2020 yang esensinya sama yakni ekspor batu bara dan CPO serta impor beras dan barang pengadaan pemerintah wajib menggunakan angkutan laut nasional.
Dukungan Pajak
Hingga saat ini, sulit bagi perusahaan angkutan laut nasional untuk bersaing dengan perusahaan angkutan laut asing pada kegiatan angkutan laut luar negeri Indonesia. Hal itu baik dengan dilaksanakan- nya Permendag No.40 tahun 2020 yang telah diubah menjadi Permendag No.65 tahun 2020 atau tanpa adanya Permendag tersebut. Penyebabnya adalah beban pajak yang ditanggung perusahaan angkutan laut nasional ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan angkutan laut asing.
Selama ini, perusahaan angkutan laut asing tidak dibebani PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atau PPh (Pajak Penghasilan) sebagaimana yang menjadi beban perusahaan angkutan laut dalam negeri. Sebab, transaksi logistik yang mereka lakukan, terjadi di luar negeri.
Dengan kondisi itu, asing dapat menawarkan tarif yang jauh lebih murah dibandingkan dengan tarif yang ditawarkan oleh perusahaan angkutan laut dalam negeri. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, pemerintah harus berani mengubah kebijakan pajak di sektor angkutan laut ekspor dan impor. Pemerintah dapat berkaca kepada Singapura yang telah bisa disebut sebagai salah satu Poros Maritim Dunia.
Negara tersebut ternyata membebaskan PPN dan PPh terhadap perusahaan angkutan lautnya yang mengangkut muatan ekspor dan impor dari dan ke Singapura. Bahkan Singapura tidak mengenakan PPN dan PPh terhadap perusahaan di Singapura yang menyewa kapal berbendera asing dan bekerja di luar negeri.
Melalui Indonesian National Shipowners’ Association, pengusaha angkutan laut nasional telah mengusulkan adanya perubahaan kebijakan pajak untuk mendukung peningkatan peran angkutan laut pada kegiatan angkutan ekspor dan impor Indonesia, bahkan usulan itu telah disampaikan dan dibahas bersama Menteri Koordinator bidang Perkonomian dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sejak awal terbitnya Permendag No.82 tahun 2017.
PPN atas jasa angkutan laut luar negeri Indonesia seyogyanya memperoleh fasilitas bebas sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.32 tahun 2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Namun, PMK tersebut memberikan dua syarat formal yakni bukti adanya perjanjian tertulis dan pembayaran yang sah dari penerima ekspor kepada pelaku ekspor.
Kedua syarat formal itu menjadi sesuatu yang sulit untuk dipenu-hi oleh perusahaan angkutan laut nasional. Sebab, kedua syarat formal merupakan domain para pemilik barang. Oleh karena itu, sudah seha- rusnya PMK tersebut direvisi dimana terhadap perusahaan angkutan laut nasional yang melaksanakan kegiatan angkutan laut ekspor dan impor, memperoleh fasilitas bebas PPN tanpa adanya kedua syarat formal tersebut.
Di sisi lain, terhadap jasa sewa kapal asing, Pemerintah mengenakan PPh 26 dengan rentang 0%, 2.64%, 20% atau rentang 1,32%, 10% bagi yang memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) sesuai dengan tax treaty negara asing dengan Indonesia. Agar kompetitif dengan luar negeri, kami mengusulkan kebijakan ini diubah menjadi PPh 15 sebesar 2,64% tanpa adanya kewajiban untuk memiliki BUT.
Akan tetapi, pemerintah belum siap mengubah kebijakan pajak angkutan ekspor dan impor Indonesia. Padahal, jika kebijakan pajak diubah menjadi setidaknya setara dengan kebijakan pajak yang diber-lakukan terhadap perusa-haan angkutan laut asing, pengusaha nasional jauh lebih siap untuk menjadi pemain utama pada kegiatan angkutan laut ekspor dan impor Indonesia.
Secara ekonomi, peningkatan kegiatan angkutan laut nasional pada kegiatan angkutan laut ekspor dan impor Indonesia akan membuka peluang Indonesia meraup devisa yang cukup besar yang selama ini dibiarkan diambil oleh pelayaran asing dan membe- rikan manfaat berupa penciptaan multiplier effect kegiatan ekonomi baru pada industri perkapalan/pelayaran, peningkatan penerimaan negara berupa pajak serta penciptaan lapangan kerja baru. (*)
- By admin
- 10 Aug 2020
- 1343
- INSA