• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Pentingnya Dukungan Pajak Terhadap Angkutan Ekspor- Impor

Pentingnya Dukungan Pajak Terhadap Angkutan Ekspor- Impor

ANGKUTAN laut luar negeri  Indonesia memiliki potensi ekonomi  yang sangat besar bagi  kemakmuran rakyat. Data Badan  Pusat Statistik (BPS) tahun 2018  menunjukkan bahwa volume  ekspor dan impor Indonesia  mencapai lebih dari 780 juta ton  per tahun dimana kontribusi  terbesar disumbangkan oleh  ekspor batu bara dan Crude Palm  Oil (CPO) dan turuannya.

Dengan asumsi rata-rata nilai  freight US$10, maka potensi devisa  negara dari sektor angkutan laut  mencapai US$7,8 miliar atau  setara dengan Rp117 trilun (kurs  Rp15.000). Sayangnya, kegiatan angkutan laut  luar negeri Indonesia hingga saat  ini masih dikuasai oleh perusahaan  angkutan laut asing, sedangkan  perusahaan angkutan laut nasional  baru menggarap angkutan  kontainer ke negara-negara di  Asean seperti Singapura, Malaysia  dan Thailand atau yang sebut  dengan pelayaran feeder dengan  total volume tidak lebih dari 5% per  tahun. Dengan demikian, selama  berpuluh-puluh tahun lamanya,  Indonesia kehilangan potensi  ekonomi, potensi penerimaan  pajak, potensi devisa yang sangat  besar dari sektor angkutan laut luar  negeri.

Hingga saat ini, ekspor Indonesia  ditopang oleh komoditas unggulan  antara lain batu bara, crude palm  oil (CPO), nikel dan bijih besi. Indonesia sendiri tercatat sebagai  produsen utama komoditas batu  bara dan CPO dunia. Data Kementerian ESDM tahun  2018 & 2019 menunjukkan bahwa  ekspor batu bara Indonesia mencapai 413 juta ton & 610 juta ton,  sedangkan ekspor CPO dan turunannya menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia  (GAPKI) mencapai 34,71 juta ton &  35,7 juta ton di tahun 2018 & 2019.

Selama ini, di dalam memanfaatkan  potensi ekonomi angkutan laut luar  negeri Indonesia, Pemerintah belum  memberikan kebijakan yang  eksklusif terhadap perusahaan  angkutan laut nasional. UU No.17  tahun 2008 pasal 11 ayat 1  menegaskan bahwa “Kegiatan  angkutan laut dari/dan ke luar negeri  dilakukan oleh perusahaan  angkutan laut nasional dan/atau  perusahaan angkutan asing dengan  menggunakan kapal berbendera  Indonesia dan/atau kapal asing.”

Padahal sejumlah negara di dunia  sudah menerapkan prinsip cabotage  atas angkutan ekspor sejumlah  komoditasnya walaupun  seyogyanya melanggar prinsip  dasar WTO (World Trade  Organization). Thailand diketahui  menerapkan sistem cabotage yang  mewajibkan penggunaan kapal  berbendera Thailand untuk kegiatan  angkutan ekspor beras.

Apa yang diterapkan di Thailand  sesungguhnya cukup beralasan  mengingat Negeri Gajah Putih ini  adalah salah satu produsen beras  terbesar di dunia. Malaysia juga segera menerapkan  kebijakan di mana setiap kapal  yang memperoleh kontrak  angkutan impor komoditas batu  bara untuk memasok kebutuhan  pembangkit listrik (power plant)  milik Tenaga Nasional Bhd., wajib  menjadi anggota MASA (Malaysia Shipowners Association) dan wajib  menggunakan kapal berbendera  Malaysia.

Sedangkan Amerika Serikat  menerapkan prinsip cabotage atas  angkutan ekspor komoditas gas alam cair atau LNG (Liquefied  Natural Gas), bahkan pada 2030,  Amerika Serikat mewajibkan  penggunaan kapal berbendera  Amerika dan dibangun di galangan  dalam negeri untuk kegiatan  angkutan LNG ekspor. Rusia juga  tidak mau kalah. Negara tersebut  juga mewajibkan penggunaan kapal berbendera Rusia untuk  ekspor produk Crude Oil.

Indonesia baru benar-benar mulai  melirik potensi ekonomi angkutan  laut luar negeri Indonesia sejak  terbitnya Peraturan Menteri  Perdagangan No.82 tahun 2017  yang esensinya mewajibkan ekspor  batu bara dan CPO serta impor  beras menggunakan kapal yang  dikuasai oleh perusahaan angkutan  laut nasional. Kebijakan ini seakan  membuka jalan bagi mewujudkan  Indonesia sebagai Poros Maritim  Dunia.

Sayangnya, kebijakan ini tidak  memperoleh dukungan penuh dari  pemilik barang, terutama eksportir  batu bara dan CPO sehingga  ditunda dari seharusnya mulai  dilaksanakan pada 1 Mei 2018 menjadi 1 Mei 2020 sesuai dengan  Permendag No.71 tahun 2017 dan  Permendag No.80 tahun 2018.

Selanjutnya, kebijakan tersebut  kembali diganti dengan Permendag  No.40 tahun 2020 dan baru berjalan  beberapa bulan, kembali direvisi  dengan Permendag No.65 tahun  2020 yang esensinya sama yakni  ekspor batu bara dan CPO serta  impor beras dan barang pengadaan  pemerintah wajib menggunakan  angkutan laut nasional.

Dukungan Pajak

Hingga saat ini, sulit bagi  perusahaan angkutan laut nasional  untuk bersaing dengan perusahaan  angkutan laut asing pada kegiatan  angkutan laut luar negeri Indonesia.  Hal itu baik dengan dilaksanakan-  nya Permendag No.40 tahun 2020  yang telah diubah menjadi  Permendag No.65 tahun 2020 atau  tanpa adanya Permendag tersebut.  Penyebabnya adalah beban pajak  yang ditanggung perusahaan  angkutan laut nasional ternyata jauh  lebih tinggi dibandingkan dengan  perusahaan angkutan laut asing.

Selama ini, perusahaan angkutan  laut asing tidak dibebani PPN (Pajak  Pertambahan Nilai) atau PPh (Pajak  Penghasilan) sebagaimana yang menjadi beban perusahaan  angkutan laut dalam negeri. Sebab,  transaksi logistik yang mereka  lakukan, terjadi di luar negeri.

Dengan kondisi itu, asing dapat  menawarkan tarif yang jauh lebih  murah dibandingkan dengan tarif  yang ditawarkan oleh perusahaan  angkutan laut dalam negeri. Untuk mewujudkan Indonesia  sebagai Poros Maritim Dunia,  pemerintah harus berani mengubah  kebijakan pajak di sektor angkutan  laut ekspor dan impor. Pemerintah  dapat berkaca kepada Singapura  yang telah bisa disebut sebagai  salah satu Poros Maritim Dunia.

Negara tersebut ternyata membebaskan PPN dan PPh terhadap  perusahaan angkutan lautnya yang  mengangkut muatan ekspor dan  impor dari dan ke Singapura. Bahkan Singapura tidak mengenakan PPN dan PPh terhadap  perusahaan di Singapura yang  menyewa kapal berbendera asing  dan bekerja di luar negeri.

Melalui Indonesian National  Shipowners’ Association,  pengusaha angkutan laut nasional  telah mengusulkan adanya  perubahaan kebijakan pajak untuk  mendukung peningkatan peran  angkutan laut pada kegiatan  angkutan ekspor dan impor  Indonesia, bahkan usulan itu telah  disampaikan dan dibahas bersama  Menteri Koordinator bidang  Perkonomian dan Badan Kebijakan  Fiskal Kementerian Keuangan sejak  awal terbitnya Permendag No.82  tahun 2017.

PPN atas jasa angkutan laut luar  negeri Indonesia seyogyanya  memperoleh fasilitas bebas  sebagaimana diatur berdasarkan  Peraturan Menteri Keuangan (PMK)  No.32 tahun 2019 tentang Batasan  Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak  yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak  Pertambahan Nilai. Namun, PMK  tersebut memberikan dua syarat  formal yakni bukti adanya perjanjian  tertulis dan pembayaran yang sah  dari penerima ekspor kepada pelaku  ekspor. 

Kedua syarat formal itu menjadi  sesuatu yang sulit untuk dipenu-hi  oleh perusahaan angkutan laut  nasional. Sebab, kedua syarat  formal merupakan domain para  pemilik barang. Oleh karena itu, sudah seha-  rusnya PMK tersebut direvisi  dimana terhadap perusahaan  angkutan laut nasional yang  melaksanakan kegiatan angkutan  laut ekspor dan impor,  memperoleh fasilitas bebas PPN  tanpa adanya kedua syarat formal  tersebut.

Di sisi lain, terhadap jasa sewa  kapal asing, Pemerintah  mengenakan PPh 26 dengan  rentang 0%, 2.64%, 20% atau rentang 1,32%, 10% bagi yang  memiliki Badan Usaha Tetap  (BUT) sesuai dengan tax treaty  negara asing dengan Indonesia.  Agar kompetitif dengan luar negeri,  kami mengusulkan kebijakan ini  diubah menjadi PPh 15 sebesar  2,64% tanpa adanya kewajiban  untuk memiliki BUT.

Akan tetapi, pemerintah belum  siap mengubah kebijakan pajak  angkutan ekspor dan impor  Indonesia. Padahal, jika kebijakan  pajak diubah menjadi setidaknya  setara dengan kebijakan pajak  yang diber-lakukan terhadap  perusa-haan angkutan laut asing,  pengusaha nasional jauh lebih  siap untuk menjadi pemain utama  pada kegiatan angkutan laut  ekspor dan impor Indonesia.

Secara ekonomi, peningkatan  kegiatan angkutan laut nasional  pada kegiatan angkutan laut  ekspor dan impor Indonesia akan  membuka peluang Indonesia  meraup devisa yang cukup besar  yang selama ini dibiarkan diambil  oleh pelayaran asing dan membe-  rikan manfaat berupa penciptaan  multiplier effect kegiatan ekonomi  baru pada industri  perkapalan/pelayaran, peningkatan  penerimaan negara berupa pajak  serta penciptaan lapangan kerja  baru. (*)

  • By admin
  • 10 Aug 2020
  • 1113
  • INSA