Penerapan Pembatasan Kandungan Sulfur pada Bahan Bakar - Kesiapan Pemerintah Khawatirkan Pengusaha Pelayaran Nasional
Penerapan Pembatasan Kandungan Sulfur pada Bahan Bakar - Kesiapan Pemerintah Khawatirkan Pengusaha Pelayaran Nasional
JAKARTA—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) meragukan kesungguhan pemerintah dalam mempersiapkan diri menyongsong diberlakukannya kebijakan internasional tentang pembatasan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5%.
Terbukti, INSA telah melayangkan surat hingga beberapa kali kepada Pemerintah, tetapi pemerintah tidak meresponnya dengan cepat, padahal kebijakan pembatasan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5% akan berlaku mulai Januari 2020.
INSA sudah melayangkan surat kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan No. DPP- SRT-XII/18/112, tertanggal 03 Desember 2018 perihal Tanggapan INSA perihal Surat Edaran (SE) No.UM.003/93/14/DJPL-18 tentang Batasan Kandungan Sulfur pada Bahan Bakar dan Kewajiban Penyampaian Konsumsi Bahan Bakar di Kapal.
Dan terakhir pada 19 Februari 2019, INSA melayangkan kembali surat dengan No.DPP-SRT-II/19/007 kepada Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub tentang Kewajiban Menyampaikan Kesiapan Indonesia dalam Menerapkan Kebijakan Batasan Kandungan Sulfur tidak melebihi 0,5% pada Bahan Bakar ke IMO.
Menurut INSA, Indonesia telah meratifikasi MARPOL 73/78 Annex VI yang melarang penggunaan bahan bakar dengan kandungan sulfur melebihi 0,5%, baik yang beroperasi di dalam negeri maupun luar negeri, melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29 tahun 2012 sehingga Indonesia wajib melaksanakannya.
Konvensi MARPOL (termasuk Annex VI) berlaku untuk semua kapal tanpa ada batasan ukuran. Pembatasan ukuran berlaku untuk perberlakuan kewajiban melakukan sertifikasi (diatas 400 GT). Khusus untuk MARPOL Annex VI, Pasal 14, karena tidak secara spesifik disebutkan, pembatasan kadar sulfur bahan bakar berlaku untuk semua jenis kapal.
INSA juga mengingatkan bahwa poin 5 Surat Edaran No. UM. 003/93/14/DJPL-18 yang membolehkan kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia untuk menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur melebihi 0.5% setelah 1 Januari 2020 lebih tepatnya berlaku untuk kapal non- konvensi, sedangkan kapal yang beroperasi di Indonesia mayoritas tidak termasuk ke dalam kategori kapal non-konvensi.
Menurut INSA, terhadap kapal non- konvensi yang hanya beroperasi di dalam negeri, Pemerintah berhak menyatakan dikecualikan dari ketentuan wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5% dengan catatan Pemerintah mengajukannya kepada IMO. Tanpa persetujuan dari IMO, maka pengecualian tersebut tidak dapat berlaku.
Lalu apa saja langkah-langkah yang harus dilakukan Kementerian Perhubungan c.q Direktur Jenderal Perhubungan Laut?
Pertama, segera memperbaiki SE No. UM.003/93/14/DJPL-18 untuk disesuaikan dengan MARPOL 73/78 Annex VI yakni seluruh kapal yang tidak termasuk ke dalam kapal non- konvensi, baik yang beroperasi di dalam negeri maupun luar negeri wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5% mulai 1 Januari 2020 dikarenakan:
1. SE tersebut telah beredar luas dan menjadi pergunjingan dunia maritim internasional karena bertentangan dengan ketentuan IMO yakni MARPOL 73/78 Annex VI.
2. Dapat menjebak para pemilik kapal selain kapal non- konvensi karena pemilik kapal menganggap SE Dirjen Perhubungan Laut tersebut benar, padahal keliru dan tidak sesuai dengan MARPOL 73/78 Annex VI.
Kedua, Pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5%. Jika belum sanggup, sesuai dengan MARPOL Annex VI Regulasi 18 Poin 1 tentang Fuel Oil, Pemerintah wajib melaporkannya kepada IMO apabila tidak dapat menyediakannya dan untuk dapat memperoleh kelonggaran (dispensasi).
Ketiga, jika Pemerintah tidak mampu menyediakan bahan bakar dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5% sesuai dengan kebutuhan pasar (domestik & internasional) dan tidak melaporkannya kepada IMO sesuai dengan MARPOL Annex VI Regulasi 18, Pemerintah harus menanggung konsekuensinya yakni:
1. Mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
2. Kapal Indonesia yang berlayar ke luar negeri akan ditahan (detained) karena Indonesia dianggap mampu menyediakan bahan bakar kapal dengan kandungan sulfur tidak melebihi 0,5%. Hal ini juga dapat terjadi pada kapal-kapal asing yang melakukan pengisian bahan bakar di Indonesia.
Keempat, penahanan kapal oleh PSC sebagaimana poin 3.b, akan kembali memasukan Indonesia ke dalam Top Ten Black List Tokyo MoU, padahal Indonesia baru saja keluar dari daftar Top Ten Black List Tokyo MoU pada Juni 2018 setelah melalui perjuangan dan proses yang panjang.
“Sejak Indonesia menandatangani Tokyo MoU tahun 1996, belum pernah keluar dari daftar Black List yang dikeluarkan oleh Tokyo MoU. Baru Juni 2018, Indonesia dikeluarkan dari daftar Top Ten Black List Tokyo MoU”
Kelima, jika Pemerintah memutuskan belum siap menerapkan Konvensi ini, maka kesempatan terakhir untuk menyampaikan hal itu kepada IMO adalah melalui rapat MEPC ke-74 di London yang akan diselenggarakan pada tanggal 13-17 Mei 2019. Penyampaian ini wajib dilakukan secara tertulis melalui surat sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum rapat MEPC ke-74 itu. (*)
Sementara itu, dalam releasenya, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menegaskan berlandaskan pada IMO MARPOL Annex VI Regulation 22A tentang Collecting and Reporting of Fuel Ship Oil Consumption, mulai 1 Januari 2019 pemerintah mewajibkan setiap shipowner/operator untuk mengumpulkan data penggunaan BBM dan melaporkan jumlah konsumsi tahunan BBM kapalnya. Aturan ini berlaku sejak 1 Januari 2019 terhadap kapal berbendera Indonesia berbobot 5000 GT atau lebih.
Data konsumsi tahunan BBM kapal wajib dilaporkan kepada Dirjen ubla) cq Direktur Perkapalan dan Kepelautan selambat- lambatnya pada 30 Maret tahun berikutnya, dalam format yang sudah diatur IMO. Dirjen Hubla akan menerbitkan Statement of Compliance – Ship Fuel Oil Reporting kepada mereka yang memenuhi wajib lapor konsumsi BBM di atas tersebut. Selengkapnya dapat dibaca di situs IMO pada link ini
Aturan wajib lapor konsumsi BBM pada kapal diterapkan IMO sebagai cara untuk mengetahui secara persis jumlah konsumsi bahan bakar kapal di seluruh dunia. Data tersebut berguna bagi IMO dalam mengambil kebijakan yang mendukung reduksi emisi gas rumah kaca dari industri pelayaran dunia, yang merupakan komitmen IMO dan Negara- negara anggotanya, termasuk Indonesia, terhadap Paris Agreement. (*)
- By admin
- 25 Mar 2019
- 3046
- INSA