Menhub Intensifkan PNBP di Sektor Perhubungan Laut, Indonesian National Shipowners’ Association Minta PNBP Dievaluasi
Menhub Intensifkan PNBP di Sektor Perhubungan Laut, Indonesian National Shipowners’ Association Minta PNBP Dievaluasi
JAKARTA– Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berupaya mengintensifkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Kementerian Perhubungan, khususnya di sektor perhubungan laut. Hal ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan fiskal negara, sementara pembangunan infrastruktur harus tetap berlanjut.
Demikian disampaikan Menhub saat mengadakan rapat dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Jakarta, Kamis (8/7) sebagaimana ditulis www.dephub.go.id.
“Dengan adanya keterbatasan fiskal, kami melihat potensi PNBP yang sangat baik yang dapat dioptimalkan, khususnya di sektor perhubungan laut. Karena kita masih harus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui pembangunan infrastruktur transportasi di Indonesia, khususnya Pelabuhan,” jelas Menhub.
Menhub mengatakan, Kemenhub akan bekerja sama dengan dua pihak yaitu BPKP dan Direktorat PNBP Kementerian/Lembaga Kemenkeu, yaitu untuk melakukan audit PNBP di sektor perhubungan laut dan akan melakukan evaluasi atau assesment. “Keterlibatan BPKP dan Kemenkeu sangat penting untuk membantu kami melakukan pengawasan,” ucap Menhub.
Lebih lanjut Menhub mengingatkan, intensifikasi PNBP yang dilakukan ini bukan berarti akan menaikkan semua tarif PNBP, tetapi harus dilihat apakah hal tersebut akan mempengaruhi atau mengganggu layanan dan juga daya saing dengan negara lain.
Dirjen Perhubungan Laut Agus H. Purnomo menyampaikan terkait capaian PNBP di sektor perhubungan laut dari tahun ke tahun. Tercatat, pada 2017, dari target PNBP Rp5,2 triliun, terealisasi Rp3,4 triliun atau 64 persen. Pada 2018, dari target Rp4 triliun, realisasi Rp3,6 tiliun atau 72 persen. Pada 2019, dari target Rp3,7 triliun, realisasi Rp3,9 triliun atau 106 persen. Sedangkan pada 2020, dari target Rp3,4 triliun, realisasi Rp3,7 Triliun atau 107 persen. Kemudian pada tahun 2021, hingga Juli, dari target Rp3,8 triliun, telah terealisasi Rp2 triliun atau 55 persen.
Dirjen Agus menjelaskan, sesuai PP 15 tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, PNBP di sektor perhubungan laut berasal dari: Jasa Kepelabuhanan (Pelabuhan yang belum diusahakan, Pelabuhan yang diusahakan secara komersial, jasa penerbitas surat ijin kepelabuhanan, dan jasa konsesi kepelabuhanan), Jasa Kenavigasian, Jasa Perkapalan dan Kepelautan, dan Jasa Angkutan Laut. PNBP diperoleh dari 296 Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perhubungan Laut di seluruh Indonesia.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga Kemenkeu Wawan Sunarjo mengatakan, mengapresiasi capaian realisasi PNBP Kemenhub di sektor perhubungan laut pada semester 1 tahun 2021 ini, yang sudah mencapai 55 persen.
Selanjutnya, ia mengatakan siap bekerja sama dan akan berkoordinasi dengan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) di Kemenhub untuk melihat seberapa banyak rekomendasi yang ditindaklanjuti terkait pengelolaan PNBP di Kemenhub.
Sementara itu Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian dan Kemaritiman Salamat Simanullang, mendukung upaya Kemenhub untuk melakukan optimalisasi PNBP di sektor perhubungan laut.
Turut hadir dalam kegiatan ini Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Djoko Sasono, Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan Gede Pasek Suardika, Direktur Jenderal Perhubungan Laut Agus H. Purnomo, serta jajaran pejabat di lingkungan Kementerian Perhubungan.
Sementara itu, Indonesian National Shipowners' Association sudah sejak lama meminta agar kebijakan PNBP Perhubungan Laut direvisi karena sangat memberatkan dunia usaha angkutan laut dan tidak mendukung terwujudnya cita-cita Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan ekonomi berkeadilan.
Hal ini dikarenakan sejumlah hal. Pertama, terdapat 435 atau 51% tarif baru dari seluruh pos tarif, dan 482 atau 57% dari seluruh pos tarif PNBP yang naik 100% hingga 1.000% dibandingkan dengan pos taif yang diatur berdasarkan PP No.6 tahun 2009. Kenaikan tarif 1.000% ditemukan a.l pada tarif penggunaan perairan untuk bangunan dan kegiatan lainnya diatas air yang naik 10x lipat dari dari 250 per M2 per tahun menjadi Rp2.500 per M2 per tahun.
Kedua, terdapat pos tarif yang tidak jelas pelayanannya, tetapi harus dibayar (No service but pay). Sebagai contoh adalah tarif PNBP atas pengawasan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan yang tidak jelas manfaatnya, tetapi ditagihkan tarifnya sebesar 1% dari total tarif bongkar muat barang di pelabuhan.
Ketiga, rumus dan perhitungan tarif PNBP yang ditetapkan berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. KU.404/2/11/DJPL-15 tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku pada umumnya yakni:
- Perhitungan tarif PNBP untuk kelompok sewa perairan dengan rumusan pada pasal 12 huruf c angka 4 yang naik hingga 76 kali lipat. Contohnya adalah tarif PNBP atas kapal FSO yang dihitung dengan rumus luas bangunan peraira dihitung dengan jari-jari sama dengan ukuran panjang kapal (LOA) terbesar termasuk peralatan bantu yang digunakan ditambah 25 M atau A=π x (L + 25 M)2 dengan π= (22/7). Dengan simulasi panjang kapal FSO 267,90 M, maka tarif PNBP meningkat dari Rp67 juta pada 2009 menjadi Rp5,1 miliar pada 2016.
- Perhitungan tarif PNBP atas sertifikat kapal seharusnya memiliki kejelasan masa berlakunya. Dan tarif PNBP dibayar secara prorata jika masa berlakunya lebih pendek dari masa berlaku yang ditetapkan di dalam PP No.15 tahun 2016.
- Perhitungan tarif PNBP navigasi adalah dihitung 15 hari. Jika jumlah hari yang digunakan kurang dari 15 hari, seharusnya dihitung pro-rata sesuai dengan hari yang digunakan, bukan tetap menjadi 15 hari. (LNM/RDL/LA/JD/RED/AJ)
- By admin
- 04 Aug 2021
- 1589
- INSA