• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Mahalnya Biaya Angkutan Laut Jadi Sorotan Wantimpres

Mahalnya Biaya Angkutan Laut Jadi Sorotan Wantimpres

Jakarta—Mahalnya Biaya Angkutan  Laut Jadi Sorotan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Baru-baru ini, Indonesian National  Shipowners’ Association menerima  email dari Biro Data dan Informasi  Sekretariat Wantimpres yang  dikirimkan oleh Agung Darmawan.

Dalam surat tersebut, Agung  Darmawan meminta kepada  Indonesian National Shipowners’  Association untuk memberikan data  dan informasi biaya bongkar muat  barang di pelabuhan dan perizinan  logistik yang dikeluarkan pengusaha  pelayaran nasional maupun informasi  pendukung lainnya terkait dengan  biaya dan perizinan logistik.

Indonesian National Shipowners’  Association telah menjawab email tersebut melalui Surat No. DPP-SRT-IX/20/052 tertanggal 17 September  2020 yang ditujukan kepada Kepala  Biro Data dan Informasi Sekretariat  Dewan Pertimbangan Presiden.

Dalam surat tersebut, Indonesian National Shipowners’ Association menyampaikan bahwa saat ini biaya  angkutan laut di Indonesia terbilang  masih sangat mahal sehingga harus  menjadi perhatian bersama.

Menurut Indonesian National  Shipowners’ Association, ada beberapa hal yang menjadi penyebab  mahalnya biaya angkutan laut di  Indonesia. Diantaranya adalah biaya  kepelabuhanan yang relatif tinggi dan  penerapan kebijakan Penerimaan  Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor  angkutan laut yang cukup  memberatkan.

Terkait dengan biaya kepelabu-hanan,  Indonesian National Shipowners'  Association menjelaskan bahwa saat  ini biaya kepelabuhanan di Indonesia  lebih tinggi dibandingkan dengan  biaya kepelabuhanan di negara-negara ASEAN atau sejumlah negara  di Asia.

Sebagai gambaran, biaya  kepelabuhanan, khususnya di  Tanjung Priok adalah sebesar USD  9,627 per jam untuk kapal 17.000  GRT. Adapun komponen biayanya adalah sebagai berikut  Anchor/Harbour Dues (USD  1.877), Quay/Berth Dues (USD  2.082), Pilot Dues (USD 901), Towage Dues (USD 3.806),  Mooring (USD 84) dan Light  Does (USD 877).

Biaya tersebut jauh lebih mahal  dibandingkan dengan biaya  Pelabuhan di sejumlah negara  seperti Singapura (USD 5.052),  Pelabuhan Port Klang (USD  3.000), Pelabuhan Laem  Chabang (USD 8.017), Pelabuhan  Hochiminh (USD 5.200),  Pelabuhan Manila (USD 4.493)  dan Pelabuhan Hong Kong (USD  5.511).

Selain itu, penerapan kebijakan  Peraturan Pemerintah No.15  tahun 2016 tentang Penerimaan  Negara Bukan Pajak (PNBP) dan  Peraturan Direktur Jenderal  Perhubungan Laut No. KU.404/2/11/DJPL-15. Dalam kajian Indonesian National  Shipowners’ Association  terhadap PP tersebut, ditemukan  data sebagai berikut:

  1. Terdapat 435 pos tarif atau 51%  tarif baru dari seluruh pos tarif,  dan 482 pos tarif atau 57% dari  seluruh pos tarif PNBP yang naik  100% hingga 1.000% jika  dibandingkan dengan pos taif  yang diatur berdasarkan PP No.6  tahun 2009. Kenaikan tarif  1.000% ditemukan a.l pada tarif  penggunaan perairan untuk  bangunan dan kegiatan lainnya  diatas air yang naik 10x lipat dari  dari 250 per M2 per tahun  menjadi Rp2.500 per M2 per  tahun.
  1. Terdapat pos tarif yang tidak  jelas pelayanannya, tetapi harus  dibayar (No service but pay).  Sebagai contoh adalah tarif  PNBP atas pengawasan kegiatan  bongkar muat barang di  pelabuhan yang tidak jelas  manfaatnya, tetapi ditagihkan  tarifnya sebesar 1% dari total tarif  bongkar muat barang di  pelabuhan.
  1.  Rumus dan perhitungan tarif  Penerimaan Negara Bukan Pajak  (PNBP) yang ditetapkan  berdasarkan peraturan Direktur  Jenderal Perhubungan Laut  Kementerian Perhubungan No.  KU.404/2/11/DJPL-15 tidak sesuai  dengan kaidah-kaidah yang  berlaku pada umumnya yakni:
  • Perhitungan tarif PNBP untuk  kelompok sewa perairan  dengan rumusan pada pasal  12 huruf c angka 4 yang naik  hingga 76 kali lipat.  Contohnya adalah tarif PNBP  atas kapal FSO yang dihitung  dengan rumus luas bangunan  perairan dihitung dengan jari-  jari sama dengan ukuran  panjang kapal (LOA) terbesar  termasuk peralatan bantu  yang digunakan ditambah  25% atau A=π x (L + 25 M)2  dengan π= (22/7). Dengan  simulasi panjang kapal FSO  267,90 M, maka tarif PNBP  meningkat dari Rp67 juta  pada 2009 menjadi Rp5,1  miliar pada 2016.
  • Perhitungan tarif PNBP atas  sertifikat kapal seharusnya  memiliki kejelasan masa  berlakunya. Dan tarif PNBP  dibayar secara prorata jika  masa berlakunya lebih  pendek dari masa berlaku  yang ditetapkan di dalam PP  No.15 tahun 2016.
  • Perhitungan tarif PNBP  navigasi adalah dihitung 15  hari. Jika jumlah hari yang  digunakan kurang dari 15  hari, seharusnya dihitung pro-  rata sesuai dengan hari yang  digunakan, bukan tetap  menjadi 15 hari.

Oleh karena itu, Indonesian  National Shipowners' Association  menyampaikan kepada  Wantimpres bahwa sudah sejak  lama mengusulkan agar PP  tentang PNBP direvisi.

Sebab, penerapan PP tersebut  sangat memberatkan usaha  angkutan laut dan tidak  mendukung terwujudnya cita-cita  Presiden Joko Widodo untuk  mewujudkan ekonomi berkeadilan  di Indonesia.

  • By admin
  • 01 Oct 2020
  • 1136
  • INSA