INSA Merasa PMK No.193/2015 Perlu Disempurnakan Kembali
INSA Merasa PMK No.193/2015 Perlu Disempurnakan Kembali
JAKARTA—Kementerian Keuangan Republik Indonesia c.q Badan Kebijakan Fiskal akan melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.193 tahun 2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Informasi akan adanya perubahan itu tertuang di dalam surat Badan Kebijakan Fiskal yang diterima INSA. Surat No.S-202/KF.2/2018 tertanggal 23 Mei 2018 tersebut merupakan jawaban atas Surat DPP INSA No.DPP-SRT-IV/18/040. “Saat ini sedang dilakukan proses penyusunan perubahannya,” tulis surat tersebut.
Ketua bidang Pajak, Asuransi, Bea dan Cukai Arief Dermawan menyambut baik revisi Peraturan Menteri Keuangan No.193 tahun 2015. Sebab, katanya, sebagian besar anggota INSA merasa PMK tersebut perlu disempurnakan supaya dapat dilaksanakan dengan baik oleh pelaku industri pelayaran.
Dia menjelaskan pemberian insentif pajak tidak dipungut sangat besar manfaatnya bagi pelaku usaha pelayaran. “Dari perubahan peraturan ini kami harapkan lahir peraturan yang lebih baik lagi,” katanya.
Pada 23 Februari 2018, INSA melayangkan surat kepada Menteri Keuangan perihal Usulan Penyempurnakan Peraturan Menteri Keuangan No.193/PMK. 03/2015. Terhadap perihal yang sama, pada 30 April 2018, INSA melayangkan surat kepada Badan Kebijakan Fiskal.
PMK tersebut menjelaskan bahwa untuk mendapatkan fasilitas pajak tidak dipungut, perusahaan pelayaran nasional harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) dengan menyertakan Rencana Kegiatan Impor dan Perolehan (RKIP) yang memuat:
•RKIP untuk kegiatan impor dan perolehan kapal.
•RKIP untuk kegiatan penyewaan kapal
•RKIP untuk jasa perbaikan (docking) kapal.
•RKIP untuk jasa kepelabuhanan.
Sejauh ini, pelaku usaha tidak mengalami kendala dalam menyusun RKIP untuk kegiatan impor dan perolehan kapal yang dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran nasional.
Hanya saja, kata Arief, pelaku usaha kesulitan menyusun RKIP atas kegiatan penyewaan kapal, jasa docking kapal dan jasa kepelabuhanan dikarenakan perusahaan pelayaran kesulitan menghitung kebutuhan kegiatan perbaikan kapal, sewa kapal dan jasa kepelabuhanan yang komprehensif dalam satu tahun untuk dituangkan ke dalam RKIP karena kebutuhan terhadap ketiga kegiatan tersebut sulit diprediksi.
Di sisi lain, katanya, proses untuk mendapatkan dokumen SKTD saat ini memakan waktu yang relatif lama sehingga berpotensi menghilangkan peluang pekerjaan pengangkutan yang bisa didapatkan oleh perusahaan pelayaran.
Selain itu, Arif menambahkan, persyaratan yang ditetapkan untuk mendapatkan SKTD juga cenderung tidak sama antara satu Kantor Pajak Pratama (KPP) dengan KPP lainnya.
Dia mengharapkan Pemerintah mengakomodasi masalah-masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha pelayaran selama melaksanakan Peraturan tersebut. (*)
- By admin
- 13 Jul 2018
- 1471
- INSA