• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

INSA Merasa PMK No.193/2015 Perlu Disempurnakan Kembali

INSA Merasa PMK No.193/2015 Perlu Disempurnakan Kembali

JAKARTA—Kementerian Keuangan Republik Indonesia c.q Badan Kebijakan Fiskal akan melakukan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.193 tahun 2015 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak  Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Informasi akan adanya perubahan itu tertuang di dalam surat Badan Kebijakan Fiskal yang diterima INSA. Surat No.S-202/KF.2/2018 tertanggal 23 Mei 2018 tersebut merupakan jawaban atas Surat DPP INSA No.DPP-SRT-IV/18/040. “Saat ini sedang dilakukan proses penyusunan perubahannya,” tulis surat tersebut.

Ketua bidang Pajak, Asuransi, Bea dan Cukai Arief Dermawan menyambut baik revisi Peraturan Menteri Keuangan No.193 tahun 2015. Sebab, katanya, sebagian besar  anggota INSA merasa PMK tersebut perlu disempurnakan supaya dapat dilaksanakan dengan baik oleh pelaku industri pelayaran.

Dia menjelaskan pemberian insentif pajak tidak dipungut sangat besar manfaatnya bagi pelaku usaha pelayaran. “Dari perubahan peraturan ini kami harapkan lahir peraturan yang lebih baik lagi,” katanya.

Pada 23 Februari 2018, INSA melayangkan surat kepada Menteri Keuangan perihal Usulan Penyempurnakan  Peraturan Menteri Keuangan  No.193/PMK. 03/2015. Terhadap perihal yang sama,  pada 30 April 2018,  INSA melayangkan surat kepada Badan Kebijakan Fiskal.

PMK  tersebut menjelaskan  bahwa untuk mendapatkan fasilitas pajak tidak dipungut, perusahaan pelayaran  nasional harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) dengan  menyertakan Rencana Kegiatan Impor dan Perolehan (RKIP) yang memuat:

•RKIP untuk kegiatan impor dan perolehan kapal.

•RKIP untuk kegiatan penyewaan kapal

•RKIP untuk jasa perbaikan (docking) kapal.

•RKIP untuk jasa kepelabuhanan.

Sejauh ini, pelaku usaha tidak  mengalami kendala dalam menyusun RKIP untuk kegiatan impor dan perolehan kapal yang dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran nasional.

Hanya saja,  kata Arief, pelaku usaha kesulitan menyusun RKIP atas kegiatan penyewaan kapal, jasa docking kapal dan jasa kepelabuhanan dikarenakan perusahaan pelayaran kesulitan menghitung  kebutuhan  kegiatan perbaikan kapal, sewa kapal dan jasa kepelabuhanan yang komprehensif  dalam satu tahun untuk dituangkan  ke dalam RKIP karena kebutuhan terhadap ketiga kegiatan tersebut sulit diprediksi.

Di sisi lain, katanya, proses untuk mendapatkan dokumen SKTD saat ini memakan waktu yang relatif  lama  sehingga berpotensi menghilangkan peluang pekerjaan pengangkutan yang bisa didapatkan oleh perusahaan pelayaran.

Selain itu, Arif menambahkan, persyaratan yang ditetapkan untuk mendapatkan SKTD juga cenderung tidak sama antara satu Kantor Pajak Pratama (KPP) dengan KPP lainnya.

Dia mengharapkan  Pemerintah  mengakomodasi masalah-masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha  pelayaran selama  melaksanakan Peraturan tersebut. (*)

  • By admin
  • 13 Jul 2018
  • 1471
  • INSA