INSA Desak Pemerintah Revisi PMK No.120 tahun 2017
INSA Desak Pemerintah Revisi PMK No.120 tahun 2017
PMK Menjadi Lonceng Kematian bagi Galangan Kapal di Batam dan Mimpi Buruk bagi Pelayaran Nasional yang Membangun Kapal di Batam.
JAKARTA—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menegaskan Peraturan Menteri Keuangan (PKM) No.120 tahun 2017 telah mematikan industri galangan kapal di Batam dan menjadi mimpi buruk bagi pelaku usaha pelayaran nasional yang memesan kapal di dalam negeri, khususnya di Batam.
Sebelum adanya PMK No. 120 tahun 2017, Pemerintah menerbitkan PMK No.50 tahun 2016 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) Impor produk Hot Rolled Plate/Ship Plate dari Negara China, Singapura dan Ukraina, PKM itu dimaksudkan untuk melindungi industri baja di dalam negeri.
Sementara itu, UU No.36 tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU menyebutkan bahwa Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ) dan Pelabuhan Bebas (Free Zone) dibentuk untuk mempercepat pengembangan ekonomi, membuka lapangan kerja dan meningkatkan penanaman modal asing dan dalam negeri.
Batam, Sabang, Bintan dan Karimun di Kepulauan Riau merupakan salah satu FTZ di Indonesia. Sejak Batam menjadi FTZ, investasi terus meningkat, khususnya investasi di sektor industri galangan kapal. Seratusan perusahaan galangan kapal telah berdiri bahkan hari ini, industri galangan kapal menjadi satu-satunya yang masih bertahan di saat industri lainnya banyak yang tutup.
Namun, sejak adanya surat Nota Dinas Direktur Fasilitas DJBC No. ND.79/BC. 03/2019 tertanggal 25 Januari 2019 yang merupakan turunan dari PMK No.120 tahun 2017, pelaku usaha galangan kapal di Batam dan pengusaha pelayaran nasional yang membangun kapal di Batam menjadi resah dan terancam bangkrut.
Sebabnya adalah bea masuk dan BMAD akan diberlakukan terhadap bahan baku kapal yakni Hot Rolled Plate/Ship Plate sesuai dengan PMK No.50 tahun 2016. Padahal bahan baku tersebut digunakan untuk memproduksi kapal atas order/pesanan pengusaha pelayaran di Indonesia.
PMK No.120 tahun 2017 tentang Perubahan atas PMK No.47 tahun 2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai tersebut diundangkan pada 4 September 2017 dan berlaku sejak 60 hari sejak Peraturan tersebut diundangkan atau tepatnya mulai 4 November 2017.
Hingga kini pengusaha galangan kapal di Batam masih berpedoman kepada Pasal 61 ayat 3 PMK No.120 tahun 2017 yang menyatakan bahwa sebelum penyampaian PPFTZ-01, pengusaha melakukan perhitungan dengan menggunakan bahan baku dengan pembebanan tarif secara keseluruhan bahan baku atau menggunakan pembebanan tarif barang jadi. Atas perhitungan tersebut, pengusaha memilih mana yang dianggap menguntungkan secara fiskal.
Selama ini, bea masuk bahan jadi/turunan dari Hot Rolled Plate/Ship Plat berupa kapal adalah 0% sesuai dengan PMK No.6 tahun 2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Dengan demikian, pengusaha berhak memperoleh bea masuk impor kapal 0%.
Hanya saja, pasal 61 ayat 3 PMK No.120 tahun 2017 tidak berlaku dalam hal pada saat pemasukan ke Kawasan Bebas bahan baku dibebaskan dari bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana diatur berdasarkan pasal 61 ayat 4 PMK No.120 tahun 2017.
Sedangkan pasal 61 ayat 5 menegaskan bahwa pengeluaran barang hasil produksi Kawasan Bebas dengan menggunakan bahan baku yang diberi perlakuan dibebaskan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan dan/atau bea masuk pembalasan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dipungut bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan dan/atau bea masuk pembalasan berdasarkan tarif yang berlaku pada saat pemasukan bahan baku ke Kawasan Bebas.
Masalahnya, PMK tersebut baru diketahui oleh para pengusaha galangan dan pelayaran nasional setelah adanya Nota Dinas Direktur Fasilitas DJBC Kementerian Keuangan No.
ND.79/ BC.03/2019 tentang Penegasan Atas Pengenaan Bea Masuk Tambahan di Kawasan Bebas yang terbit pada 25 Januari 2019.
Dalam Nota Dinas, Direktur Fasilitas DJBC tersebut memberlakukan Bea Masuk dan BMAD atas impor bahan baku Hot Rolled Plate/Ship Plate yang telah diola hmenjadi bahan jadi berupa kapal. Padahal selama ini pembelian kapal dari Batam oleh pengusaha pelayaran nasional di luar Batam tidak dikenai Bea Masuk dan BMAD.
Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan INSA telah banyak menerima keluhan dari anggota INSA yang memesan kapal di Batam. INSA juga mendengarkan keluhan dari para pemilik galangan kapal di Batam setelah Nota Dinas Direktur Fasilitas DJBC tersebut dikeluarkan dan disosialisasikan di Batam.
Berdasarkan data INSA, katanya, sejak 25 Januari 2019 hingga sekarang, sebanyak 17 unit galangan kapal di Batam telah dan sedang memproduksi 96 unit kapal. Akan tetapi kapal-kapal tersebut tidak mengangarkan BM dan BMAD sehingga hingga kini kapal tersebut tidak diserahkan kepada pemesannya akibat diterapkannya PMK No.120 tahun 2017. Jika diserahkan, pengusaha galangan akan rugi besar.
Jika Permenkeu No. 120 tahun 2017 diberlakukan, seluruh galangan kapal di Batam akan tutup karena akan ada NOTUL (Nota Pembetulan) terhadap ribuan kapal yang telah diproduksi oleh galangan kapal Batam dan dibeli pengusaha pelayaran nasional sejak 4 November 2017 hingga sekarang.
“Padahal saat ini sebagian besar galangan di Batam sudah tidak beroperasi akibat order kapal yang kian sepi,” katanya.
Johnson menjelaskan INSA sangat prihatin. Di tengah upaya INSA yang mendorong anggotanya untuk memesan kapal di dalam negeri, termasuk di Batam, guna mendukung program Presiden Joko Widodo yakni mengurangi ketergantungan kepada impor, memperkuat nilai tukar rupiah dan memangkas defisit neraca jasa, banyak anggota INSA yang terjebak oleh PMK tersebut. Oleh karena itu, INSA meminta:
1. Kepada Kementerian Keuangan untuk segera merevisi Permenkeu No.120 tahun 2017 tersebut secara komprehensif dikarenakan dampak Permenkeu tersebut dapat membunuh industri galangan dan membangkrutkan usaha pelayaran.
2. Kepada anggotanya, INSA mengajak untuk menahan diri dari memesan dan membangun kapal di Batam hingga Pemerintah merevisi PMK No. 120 tahun 2017.
Sementara itu, seorang pengusaha galangan kapal di Batam Hengky Suryawan mengatakan beban bea masuk yang akan dibayar pemesan kapal dari Indonesia dan pengusaha galangan di Batam pada saat transaksi pembelian kapal dengan bahan baku Hot Rolled Plate/Ship Plate dari China, Singapura dan Ukraina menjadi mahal.
Dia mencontohkan, untuk tongkang ukuran 300 feet x 80 feet x 20 feet yang dibangun dengan bahan baku Hot Rolled Plate/Ship Plate dari Singapura, pengusaha harus membayar bea masuk sebesar Rp2,95 miliar karena harus membayar bea masuk 15%, BMAD Hot Rolled Plate/Ship Plate Singapura 12,50%, PPh pasal 22 Impor Bahan Baku 2,5%.
Dengan beban yang demikian, dia meyakini pengusaha pelayaran di Indonesia lebih memilih mengimpor kapal dari luar negeri yang tarif Bea Masuknya 0% dibandingkan dengan membangun kapal di dalam negeri, khususnya di Batam. Dikarenakan biaya membangun kapal di dalam menjadi lebih mahal hingga diatas 20% dibandingkan dengan mengimpor kapal dari luar negeri.
Menurut dia, jika kondisi ini tidak segera diatasi Pemerintah dengan merevisi PMK No.120 tahun 2017, akan semakin banyak daftar galangan yang bangkrut, padahal saat ini puluhan galangan sudah gulung tikar dan Kota Batam terancam menjadi kota mati.
Dia mengharapkan Pemerintah c.q Kementerian Keuangan agar mencarikan solusi atas nasib 96 kapal yang dibangun galangan kapal di Batam sejak 25 Januari 2019. Saat ini, sebagian besar kapal-kapal tersebut telah selesai dibangun dan siap diserahkan kepada pemesannya oleh sejumlah galangan kapal di Batam.
Namun, akibat PMK 120 tahun 2017, kapal-kapal tersebut tidak diserahkan karena pemilik kapal maupun galangan tidak menganggarkan biaya untuk membayar bea masuk dan BMAD.
Hengky juga meminta Pemerintah segera memberikan solusi terhadap kapal-kapal yang sudah dibangun dan diserahkan kepada pemiliknya di Indonesia sejak PMK No.120 tahun 2017 diberlakukan hingga sekarang karena mereka akan menghadapi NOTUL jika PMK tersebut duerapkan kosekwen. (*)
- By admin
- 27 Mar 2019
- 1655
- INSA