Impian Insan Bahari Kembali Pupus
Impian Insan Bahari Kembali Pupus
Oleh Edy Putra Irawady
Anggota Tim Ahli Menteri Koordinator bidang Perekonomian Republik Indonesia & Mantan Ketua Tim Kebijakan Pengembangan Logistik Nasional.
DI TENGAH kehampaan perekonomian yang terdampak disrupsi Pandemi Covid-19, tiba-tiba menggelegar informasi yang membunuh kembali harapan anak bangsa yang hidup dari usaha pelayaran di negeri maritim ini. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 40 Tahun 2020 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Nasional dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang berlaku efektif mulai 1 Mei 2020. Permendag tersebut menggantikan Permendag No. 82 tahun 2017 yang telah diubah dengan Permendag No.48 tahun 2018 dan kemudian Kembali diubah dengan Permendag No.80 tahun 2019.
Kebijakan yang sifatnya mengatur angkutan laut ekspor dan impor Indonesia dengan menggunakan angkutan laut nasional itu merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi Presiden Joko Widodo yang ke-15 dalam rangka deregulasi kebijakan nasional yang fokus untuk mengembangkan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional serta meningkatkan devisa negara dan memangkas defisit neraca jasa.
Melalui peraturan tersebut, Pemerintah ingin memperbesar peran angkutan laut nasional pada kegiatan angkutan ekspor dan impor Indonesia dengan mewajibkan kegiatan ekspor batu bara dan crude palm oil (CPO) serta impor beras maupun barang pengadaan pemerintah untuk menggunakan angkutan laut nasional.
Ikhtiar negara untuk memperbesar peran angkutan laut nasional pada kegiatan angkutan laut ekspor dan impor Indonesia sangat logis mengingat besarnya potensi ekonomi yang akan dihasilkan. Data BPS 2018 menunjukkan bahwa volume ekspor dan impor Indonesia mencapai lebih dari 780 juta ton per tahun. Khusus ekspor batu bara Indonesia berdasarkan Data Kementerian ESDM tahun 2018 & 2019 mencapai 413 juta ton & 610 juta ton, sedangkan ekspor CPO dan turunannya menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencapai 34,71 juta ton & 35,7 juta ton di tahun 2018 & 2019.
Dengan menggunakan asumsi bahwa ekspor atas kedua komoditas tersebut sudah menggunakan angkutan laut nasional, maka potensi devisa dan pajak yang diterima negara menjadi sangat besar.
Perhitungannya adalah jika volume ekspor batu bara dan CPO pada 2019 total mencapai 645,7 juta ton dengan rata-rata freight atau uang tambang sebesar US$10 dolar, maka potensi devisa negara yang terselamatkan mencapai US$6,457 miliar, sedangkan potensi penerimaan pajak negara mencapai US$248 juta atau setara dengan Rp3,72 triliun (Kurs Rp15.000 per US Dollar) per tahun.
Akan tetapi, selama ini yang penggunaan armada angkutan laut nasional untuk ekspor batu bara maupun CPO tidak sampai 1%. Perusahaan angkutan laut nasional pun baru mampu menggarap angkutan ekspor komoditas dengan menggunakan kapal kontainer ke negara-negara di kawasan ASEAN seperti Singapura, Malaysia atau Thailand atau yang sebut dengan pelayaran feeder (pengumpan).
Kegiatan pelayaran feeder ini biasanya menggunakan kapal kontainer dengan ukuran dan kapasitas kecil yakni antara 600-800 TEUs yang melayari jalur pelabuhan pengumpul (HUB Port) ke pelabuhan pengumpan (SPOKE Port) atau sebaliknya.
Esensi Permendag
Sejak awal, pelaku usaha angkutan laut nasional sangat mendukung kebijakan yang mengatur kegiatan angkutan laut luarnegeri Indonesia wajib menggunakan perusahaan angkutan laut nasional. Bahkan para pengusaha angkutan laut nasional terus mendorong agar Pemerintah konsekuen di dalam menerapkannya yakni dimulai pada 1 Mei 2018 sesuai Permendag No.82 tahun 2017.
Mereka juga optimis dapat menyediakan kapal-kapal yang dibutuhkan para pemilik barang, eksportir dan importir batu bara, CPO dan beras maupun barang pengadaan Pemerintah. Terlebih, ketentuan penggunaan perusahaan angkutan laut nasional tidak sama dengan kebijakan azas cabotage.
Angkutan laut ekspor-impor yang dimaksud permendag No.82 tahun 2017 adalah kegiatan angkutan laut luar negeri Indonesia wajib menggunakan kapal yang dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional atau yang sering disebut dengan beyond cabotage. Hal ini berbeda dengan azas cabotage yang mana berlaku pada kegiatan angkutan laut dalam negeri yang mewajibkan penggunaan kapal berbendera Merah Putih yang diawaki oleh bangsa Indonesia dan dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan kepemilikan mayoritas adalah orang perorangan atau badan hukum Indonesia.
Sayangnya, banyak yang salah memahami bahwa pengertian kapal yang dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional sama artinya dengan kapal berbendera Merah Putih. Padahal, perusahaan angkutan laut nasional dapat menguasai sebuah kapal, meskipun ia berbendera asing. Karena kapal yang dikuasai itu selain milik sendiri, bisa juga dengan disewa dengan sistem bare boat, time charter, voyage charter, contract of affreightment atau kontrak sewa kapal lainnya.
Akibat pemahaman yang tidak benar ini, maka Permendag No.82 tahun 2017 akhirnya ditunda pelaksanaannya hingga 1 Mei 2020 sampai pada akhirnya Permendag tersebut diganti dengan Permendag No.40 tahun 2020 dengan sejumlah perbaikan.
Permendag No.40 tahun 2020 sesungguhnya lebih memberikan gambaran detail tentang kegiatan angkutan laut luar negeri Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Melalui Permendag tersebut, pemerintah kembali mempertegas bahwa kegiatan angkutan laut luar negeri yang diatur di dalam peraturan ini esensinya sama dengan peraturan sebelumnya yakni wajib dilaksanakan dengan menggunakan perusahaan angkutan laut nasional, tetapi kapal yang digunakan tidak mewajibkan berbendera Merah Putih.
Sekali lagi, kegiatan angkutan laut luar negeri yang diatur di dalam peraturan ini esensinya adalah sama dengan peraturan sebelumnya yakni wajib dilaksanakan dengan menggunakan perusahaan angkutan laut nasional, tetapi kapal yang digunakan tidak mewajibkan berbendera Merah Putih. Berkaca pada pengalaman selama Permendag No.82 tahun 2017 didiskusikan, maka sangat penting bagi semua pihak untuk memahami kebijakan ini dengan benar agar tidak terjadi pemahaman yang salah pada saat peraturan ini dilaksanakan.
Terhadap Permendag No.40 tahun 2020, ada sejumlah pasal yang perlu dicermati. Pertama, kegiatan angkutan laut ekspor atas komoditas batu bara dan crude palm oil (CPO) serta impor beras atau barang pengadaan pemerintah wajib menggunakan angkutan laut nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi “Eksportir yang mengekspor batu bara dan/atau CPO wajib menggunakan angkutan laut nasional dan asuransi nasional,” dan pasal 2 ayat 2 yakni “Importir yang mengimpor beras dan/atau barang untuk pengadaan barang pemerintah wajib menggunakan angkutan laut nasional dan asuransi nasional.”
Kedua, Penggunaan angkutan laut nasional untuk kegiatan ekspor batu bara, CPO dan impor beras maupun barang pengadaan pemerintah dibatasi dengan kapasitas angkut maksimum 15.000 Dead Weight Tonnage (DWT). Hal ini sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 yakni “Kewajiban penggunaan angkutan laut nasional berlaku untuk eksportir yang mengekspor batu bara dan/atau CPO menggunakan angkutan laut dengan kapasitas angkut sampai dengan 15.000 deadweight tonnage,” dan Pasal 3 ayat 2 yakni “Kewajiban penggunaan angkutan laut nasional berlaku untuk importir yang mengimpor beras dan/atau barang untuk pengadaan pemerintah menggunakan angkutan laut dengan kapasitas angkut sampai dengan 15.000 deadweight
tonnage.”
Ketiga, angkutan laut nasional untuk mengangkut ekspor batubara dan CPO serta impor beras dan barang pengadaan pemerintah wajib diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Hal ini sesuai degan pasal 4 yang berbunyi “Angkutan laut nasional sebagaimana dimaksud pasal 3 diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional”
Keempat, angkutan laut nasional yang dimaksud di dalam Permendag ini adalah angkutan laut yang dimiliki atau disewa oleh perusahaan angkutan laut nasional sesuai pasal dengan pasal 1 ayat 5 yang berbunyi “Angkutan laut nasional adalah angkutan laut yang dimiliki atau disewa oleh perusahaan angkutan laut nasional dalam bentuk bare boat, time charter, voyage charter, contract of affreightment atau kontrak sewa kapal lainnya”.
Kebijakan Internasional
Saat ini, terdapat dua sistem kebijakan yang diberlakukan oleh sejumlah negara di dunia internasional terhadap kegiatan angkutan laut ekspor-impor yakni kebijakan freight tax atas uang tambang dan system cabotage.
Freight tax adalah pajak uang tambang yang dipungut negara kepada perusahaan angkutan laut asing yang menyelenggarakan kegiatan angkutan laut ekspor dan impor pada suatu negara.
Negara yang menganut sistem Freight tax antara lain Vietnam, Thailand dan Filipina. Pada sistem ini, pajak uang tambang dibayarkan melalui agen yang ditunjuk oleh perusahaan pelayaran asing. Kelemahan dari kebijakan ini adalah adanya potensi kebocoran dan tidak tepat sasaran dikarenakan agen bukanlah pihak atau pelaku transaksi dalam kegiatan angkutan laut ekspor dan impor tersebut.
Sedangkan negara yang menerapkan sistem cabotage pada kegiatan angkutan komoditas ekspor-impor adalah Thailand, Malaysia, Amerika Serikat dan Rusia. Sebagai contoh, Thailand diketahui menerapkan sistem cabotage yang mewajibkan penggunaan kapal berbendera Thailand untuk kegiatan angkutan ekspor beras. Apa yang diterapkan di Thailand sesungguhnya cukup beralasan mengingat Negeri Gajah Putih ini adalah salah satu produsen beras terbesar di dunia.
Malaysia juga segera menerapkan kebijakan di mana setiap kapal yang memperoleh kontrak angkutan impor komoditas batu bara untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik (power plant) milik Tenaga Nasional Bhd., wajib menjadi anggota MASA (Malaysia Shipowners Association) dan wajib menggunakan kapal berbendera Malaysia.
Sedangkan Amerika Serikat menerapkan prinsip cabotage atas kegiatan angkutan ekspor komoditas gas alam cair atau LNG (Liquefied Natural Gas), bahkan untuk angkutan LNG itu, pada 2030, USA mewajibkan penggunaan kapal berbendera USA dan dibangun di galangan dalam negerinya. Rusia juga tidak mau kalah. Negara tersebut juga mewajibkan penggunaan kapal berbendera Rusia untuk ekspor produk Crude Oil.
Penerapan sistem cabotage terhadap angkutan ekspor atas komoditas tertentu yang diterapkan oleh Thailand, Malaysia, Amerika Serikat dan Rusia sesungguhnya sangat rentan terhadap gugatan ke WTO (World Trade Organization), meskipun sejauh ini belum terdengar ada lembaga yang mempermasalahkannya.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita sangat bisa menerapkan sistem cabotage terhadap angkutan ekspor atas komoditas tertentu, terutama batu bara dan CPO dengan pertimbangan bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen utama dunia atas kedua komoditas itu. Akan tetapi, Pemerintah memilih menerapkan kebijakan di mana kegiatan ekspor batu bara dan CPO serta impor beras dan barang pengadaan Pemerintah wajib menggunakan perusahaan angkutan laut nasional.
Memperbesar Dampak Positif Permendag
Permendag No.40 tahun 2020 memiliki beberapa keunggulan. Pertama, pembayaran pajak uang tambang (freight tax) tidak rawan bocor karena dilakukan langsung oleh pelaku usaha sekaligus wajib pajak, dalam hal ini pengusaha pelayaran pemegang SIUPAL (Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut) dan pemilik barang (eksportir atau importir). Hal ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan yang diterapkan oleh Vietnam, Filipina dan Thailand di mana kewajiban membayar freight tax dilakukan oleh agen yang ditunjuk oleh pelaku usaha.
Kedua, kebijakan yang diberlakukan Pemerintah tidak melanggar prinsip-prinsip perdagangan dunia yang bebas sehingga kecil kemungkinan ada lembaga yang melakukan gugatan dan membawanya kepada organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO).
Ketiga, kebijakan yang diberlakukan Pemerintah akan memberikan dampak ekonomi yang sangat besar, baik dari aspek penerimaan pajak, investasi maupun sektor riil. Belum lagi intangible benefit-nya seperti lapangan pekerjaan yang bertumbuh, industri galangan yang akan bergairah dan sektor keuangan yang meningkat dikarenakan adanya kenaikan permintaan pembelian atau pembangunan kapal.
Namun, agar penerapan kebijakan tersebut memberikan dampak yang lebih optimal, Pemerintah perlu mengubah kebijakan pajak dengan merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.32 tahun 2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai agar perusahaan angkutan laut nasional yang melaksanakan kegiatan angkutan laut ekspor dan impor, memperoleh fasilitas bebas PPN tanpa adanya kedua syarat formal yakni bukti adanya perjanjian tertulis dan pembayaran yang sah dari penerima ekspor kepada pelaku ekspor.
Selain itu, perusahaan angkutan laut nasional bisa lebih kompetitif, PPh atas jasa sewa kapal asing oleh perusahaan angkutan laut nasional harus diubah dari PPh 26 dengan rentang 0%, atau 20% menjadi PPh 15 sebesar 2,64% tanpa adanya kewajiban untuk memiliki BUT (Badan Usaha Tetap).
Perbaikan rezim pajak ini akan dapat meningkatkan daya saing pengusaha pelayaran pemegang SIUPAL untuk ukuran kapal diatas 15.000 DWT yang diharapkan dapat membuka jalan menuju mimpi insan bahari Indonesia (*)
- By admin
- 15 May 2020
- 1862
- INSA