Empat Hal Penting Untuk Mengangkat Daya Saing Pelayaran Nasional
Empat Hal Penting Untuk Mengangkat Daya Saing Pelayaran Nasional
Tahun 2024 kita tinggalkan dengan segala dinamikanya, khususnya di bidang pelayaran. Tahun politik tersebut berhasil mengantarkan Probowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029.
Perjalanan sektor angkutan laut pada tahun 2024 sesungguhnya diawali dengan aura yang positif. Hal itu terlihat dari pergerakan perusahaan pelayaran yang melantai di Bursa Efek Indonesia pada awal 2024, mulai dari menaikkan target pendapatan, laba bersih, rencana investasi dan ekspansi.
Sejumlah perusahaan pelayaran telah menambah armada sepanjang 2024 seperti PT Temas Tbk, PT Wintermar Offshore Marine, Tbk, PT Samudera Indonesia, Tbk, PT Humpuss Maritim Internasional Tbk (HUMI), PT Buana Lintas Lautan Tbk (BULL), PT Ancara Logistics Indonesia Tbk (ALII), PT Transcoal Pacific Tbk (TCPI), PT Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk (NELY), PT Berlian Laju Tanker, Tbk dan PT Trans Power Marine, Tbk. Tahun 2024 diyakini memiliki prospek menjanjikan bagi sektor pelayaran, salah satunya didukung oleh rencana produksi batubara yang akan mencapai di atas 700 juta ton per tahun, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), program pencampuran solar dan minyak kelapa sawit (B40), peningkatan produksi minyak dan gas bumi, serta permintaan angkutan dari sejumlah komoditi seperti nikel, semen, pasir silika dan lain-lain.
Namun, Indonesian National Shipowners' Association yang dipimpin Siana A. Surya sebagai Ketua Umum mencatat ada empat hal penting yang arus menjadi perhatian di tahun 2025 untuk meningkatkan daya saing pelayaran nasional.
Keempatnya adalah masalah PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) bidang angkutan laut, Taksonomi bagi pelayaran, Penerapan PBI No. 17 tahun 2015 dan Surat Edaran No. SRT-0102/SKKMA0000/ 2018/S6.
Revisi PNBP
Indonesian National Shipowners' Association terus mendorong agar kebijakan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Perhubungan Laut direvisi karena sangat memberatkan dunia usaha angkutan laut dan tidak mendukung terwujudnya ekonomi berkeadilan.
Hal ini dikarenakan sejumlah hal. Pertama, terdapat 435 atau 51% tarif baru dari seluruh pos tarif, dan 482 atau 57% dari seluruh pos tarif PNBP yang naik 100% hingga 1.000% dibandingkan dengan pos taif yang diatur berdasarkan PP No.6 tahun 2009. Kenaikan tarif 1.000% ditemukan a.l pada tarif penggunaan perairan untuk bangunan dan kegiatan lainnya diatas air yang naik 10x lipat dari dari 250 per M2 per tahun menjadi Rp2.500 per M2 per tahun.
Selain itu, terdapat pos tarif yang tidak jelas pelayanannya, tetapi harus dibayar (No service but pay). Sebagai contoh adalah tarif PNBP atas pengawasan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan yang tidak jelas manfaatnya, tetapi ditagihkan tarifnya sebesar 1% dari total tarif bongkar muat barang di pelabuhan.
Kemudian rumus dan perhitungan tarif PNBP yang ditetapkan berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. KU.404/2/11/DJPL-15 tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku pada umumnya yakni perhitungan tarif PNBP untuk kelompok sewa perairan dengan rumusan pada pasal 12 huruf c angka 4 yang naik hingga 76 kali lipat.
Contohnya adalah tarif PNBP atas kapal FSO yang dihitung dengan rumus luas bangunan peraira dihitung dengan jari-jari sama dengan ukuran panjang kapal (LOA) terbesar termasuk peralatan bantu yang digunakan ditambah 25 M atau A=π x (L + 25 M)2 dengan π= (22/7).
Dengan simulasi panjang kapal FSO 267,90 M, maka tarif PNBP meningkat dari Rp67 juta pada 2009 menjadi Rp5,1 miliar pada 2016. Perhitungan tarif PNBP atas sertifikat kapal seharusnya memiliki kejelasan masa berlakunya. Dan tarif PNBP dibayar secara prorata jika masa berlakunya lebih pendek dari masa berlaku yang ditetapkan di dalam PP No.15 tahun 2016.
Perhitungan tarif PNBP navigasi adalah dihitung 15 hari. Jika jumlah hari yang digunakan kurang dari 15 hari, seharusnya dihitung pro-rata sesuai dengan hari yang digunakan, bukan tetap menjadi 15 hari. Oleh karena itu, seyogyanya, kebijakan PNBP bidang angkutan laut dievaluasi.
Taksonomi Hambat Investasi
Indonesian National Shipowners' Association pada akhirnya harus mengadukan persoalan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang disusun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
Hal ini dikarenakan potensi investasi dan pembiayaan perkapalan akan terhambat jika taksonomi diberlakukan atas kapal-kapal dibawah 5.000 GT, yang saat ini masih mendominasi jumlah kapal yang beroperasi dan dibutuhkan di Indonesia.
Buku taksonomi TKBI dapat menjadi salah satu instrumen pembiayaan yang dipakai perbankan atau lembaga sehingga jika kapal tidak masuk ke dalam klasifikasi “hijau” sesuai klasifikasi buku TKBI, maka akan memberi dampak negatif terhadap investasi dan pembiayaan.
Melalui suratnya No. DPP-SRT-XI/24/050 tertanggal 12 November 2024, Indonesian National Shipowners' Association menjelaskan jika saat ini OJK sedang menyusun buku panduan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang akan berdampak terhadap sektor angkutan laut Indonesia.
TKBI merupakan klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial. Taksonomi digunakan sebagai panduan untuk meningkatkan alokasi modal dan pembiayaan berkelanjutan dalam mendukung target net zero.
TKBI disusun dengan menekankan pada prinsip scientific and credible, interoperable dan mendukung kepentingan nasional, serta inklusif. Hasil akhir dari proses penilaian TKBI yaitu aktivitas diklasifikasikan menjadi “Hijau” atau “Transisi”.
Apabila tidak memenuhi kedua persyaratan tersebut maka aktivitas dinilai “Tidak Memenuhi Klasifikasi”. Draft terakhir untuk sektor transportasi laut dibuat sedemikian rupa dengan merujuk kepada peraturan perundang-undangan Indonesia serta dokumen-dokumen standar perkapalan yang berlaku di dunia internasional yang diantaranya adalah ASEAN Taxonomi for Sustainable Finance (Ver. 3), IMO (International Maritime Organization) Standards dan CBI – The Shipping Criteria for the Climate Bonds Standard & Certification Scheme.
Asosiasi kapal ini menegaskan jika sudah sangat jelas bahwa kapal yang berukuran lebih kecil dibawah 5000GT hanya dapat mengaplikasikan standard ini jika menggunakan bahan energi emisi nol. Jadi, sangat jelas bahwa jika peraturan IMO diberlakukan, maka Taksonomi ini seharusnya tidak mencakup kapal-kapal dengan ukuran kecil dibawah 5000GT maupun jenis Tug & Barge yang mana kapal-kapal tersebut paling besar jumlahnya dan paling banyak dibutuhkan di Indonesia sampai saat ini.
Sejauh ini, Indonesian National Shipowners' Association telah memberikan masukan terkait penyusunan Taksonomi BTKI yang disampaikan melalui surat No. DPP-SRT-IX/24/038 tertanggal 19 September 2024.
Esensi dari masukan organisasi tersebut adalah bahwa jika Taksonomi tetap diberlakukan atas kapal dengan ukuran kecil dibawah 5000GT, maka perlu adanya standar alternatif yang praktis dengan mempertimbangkan kearifan lokal untuk diimplementasikan pada kapal dengan ukuran dibawah 5000GT maupun jenis Tug & Barge.
Adapun dasar dari usulan tersebut adalah karena standard yang digunakan untuk kapal-kapal yang berukuran besar diatas 5000GT, tidak dapat secara langsung diaplikasikan kepada kapal-kapal yang berukuran jauh lebih kecil mengingat kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang masih sangat membutuhkan kapal-kapal kecil di bawah 5000GT dalam jumlah besar guna menjamin keberlangsungan perekonomian dari sektor transportasi laut.
Penundaan PBI 17 Tahun 2015
Tahun 2025 juga menandai sebagai tahun terakhir kebijakan penundaan penerapan kebijakan PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Transaksi Menggunakan Mata Uang Rupiah bagi sektor pelayaran.
Perjuangan pelaku usaha pelayaran Indonesia untuk mendapatkan keringanan ini dimulai pada tahun 2015. Indonesian National Shipowners' Association melalui suratnya kepada Bank Indonesia dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta penundaan pelaksanaan PBI No.17 tahun 2015 mengingat kebijakan tersebut akan memberikan dampak buruk bagi usaha pelayaran, terutama sektor offshore dan angkutan curah cair dan gas bumi.
Dalam suratnya No. DPP-SRT-1215037, tertanggal 16 Desember 2025 yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia, Indonesian National Shipowners' Association menjelaskan untuk mendukung pemerintah dalam menerapkan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran secara konsekwen, pelaku usaha pelayaran telah berinvestasi untuk pengadaan kapal dalam jumlah besar, khususnya armada offshore dan kapal-kapal angkutan cair dan gas bumi yang pengadaannya masih dilakukan di luar negeri akibat kemampuan dalam negeri yang terbatas, baik dalam hal kemampuan galangan, pembiayaan maupun perpajakan.
Pengadaan kapal-kapal tersebut memerlukan dukungan pembiayaan yang sangat besar dengan bunga pinjaman yang kompetitif. Di luar negeri, pembiayaan untuk mendukung pengadaan kapal-kapal tersebut sangat tersedia dengan bunga rendah, hanya 2-5 persen dan dengan tenor yang jauh lebih baik sehingga memungkinkan investasi dilakukan.
Oleh karena itu, untuk menjaga keberlangsungan usaha pelayaran sekaligus menyelamatkan investasi pelaku pelayaran nasional, pemerintah memberikan kelonggaran selama 10 tahun sejak 2016 dan akan berakhir pada 2026. Hingga saat ini, sudah ratusan perusahaan pelayaran yang telah memanfaatkan fasilitas penundaan PBI guna menyelamatkan investasi tersebut.
Namun, pada 2026, kebijakan tersebut akan berakhir. Di satu sisi, investasi pengadaan kapal-kapal offshore maupun angkutan oil and gas masih sangat dibutuhkan, baik dalam rangka peremajaan maupun menambah kapasitas sehingga Indonesian National Shipowners' Association berharap ada kebijaksaan yang berkeadilan bagi pelayaran terkait dengan penerapan kebijakan PBI tersebut.
SE SKKMigas
Selama Tahun 2024, Indonesian National Shipowners’ Association terus meminta Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKKMigas) untuk memperbaiki Surat Edaran No. SRT-0102/SKKMA0000/ 2018/S6 tertanggal 07 Februari 2018 tentang Kewajiban Penggunaan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Dalam Operasi Perkapalan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selama ini telah meresahkan pelaku usaha pelayaran niaga nasional Indonesia.
Dampak implementasi Surat SKK Migas No. SRT-0102/ SKKMA 0000/ 2018/S6 tertanggal 07 Februari 2018 tentang Kewajiban Penggunaan Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) dalam Operasi Perkapalan di Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tersebut bagi sektor pelayaran offshore Indonesia sangat dirasakan.
Surat SKKMigas tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran pasal 129 yang berbunyi: Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No.61 tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan No.7 tahun 2013 tentang Kewajiban Klasifikasi bagi Kapal Berbendera Indonesia pada Badan Klasifikasi, pada Pasal 2 menegaskan jika kapal berbendera Indonesia jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi. Adapun pasal 3 menjelaskan jika badan klasifikasi yang dimaksud terdiri atas badan klasifikasi nasional dan badan klasifikasi asing yang diakui. Badan klasifikasi yang diakui merupakan anggota International Association of Classification Society (IACS).
Adapun klasifikasi member IACS terdiri dari American Bureau of Shipping (ABS), Bureau Veritas (BV),China Classification Society (CCS), Croatian Register of Sttipping (CRS), Det Norske Veritas (DNV), Germanischer Lloyd (GL), Indian Register of Shipping (IRS), Korean Register of Shipping (KR), Lloyd's Register (LR), Nippon Kaiji Kgokai (NK/ Class NK), Polish Register of Shipping (PRS), Registro Italiano Navale (RINA) dan Russian Maritime Register of Shipping (RS).
Kemudian, Pelaksanaan Surat SKKMigas tersebut telah menimbulkan biaya tinggi karena pemilik kapal harus melaksanakan double class (klasifikasi luar negeri dan dalam negeri). Selama ini mayoritas stakeholders pelayaran offshore menpercayakan pemeriksaan dan sertifikasi kapalnya kepada klasifikasi yang meniliki kompetensi, kecukupan sumber daya (resources), jaringan (networking) dan dipercaya oleh komunitas serta stakeholders maritim. Seyogyanya pemerintah membuka kebijakan klasifikasi yang setara bagi klasifikasi dalam negeri maupun luar negeri dalam kegiatan sertifikasi statutory kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri maupun dalam negeri sesuai dengan amanat UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. AJ
- By admin
- 11 Jan 2025
- 82
- INSA