• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Dua Windu Azas Cabotage Masih Perlu Memberdayakan Angkutan Laut Ekspor & Impor Indonesia

Dua Windu Azas Cabotage Masih Perlu Memberdayakan Angkutan Laut Ekspor & Impor Indonesia

PADA 28 Maret 2005 adalah hari dimana Indonesia seharusnya mencatat sebagai hari bersejarah. Sebab, pada hari ini, Pemerintah resmi menerapkan kebijakan nasional azas cabotage yang diatur berdasarkan Instruksi Presiden No.5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Niaga Nasional yang kemudian diperkuat dengan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Inpres yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menjadi tonggak penting bagi kebangkitan sektor pelayaran nasional untuk menjadi tuan di negeri sendiri. Melalui azas cabotage, Indonesia memulai program pemberdayaan angkutan laut maupun sektor kemaritiman pada umumnya.

Istilah azas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam negeri wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi. Pasal 8 ayat 1 UU No. 17 tahun 2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Di dalam penjelasannya menerangkan bahwa penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan azas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara sekaligus memberikan kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional.

Dengan demikian,  tujuan  azas cabotage itu sangat besar dan penerapannya tidak semata-mata dalam rangka meningkatkan perekonomian bangsa, tetapi juga untuk mewujudkan kedaulatan negara. Oleh karena, kebijakan azas cabotage memiliki peran strategis yang sudah seharusnya dipertahankan oleh Indonesia sampai kapan pun.

Dampak Azas Cabotage.

Dalam perspektif ekonomi, pelaksanaan azas cabotage di Indonesia memiliki dampak yang sangat besar. Sektor-sektor yang merasakan dampaknya adalah  sektor pelayaran, galangan kapal, komponen kapal, perbankan, keuangan, asuransi, tenaga kerja, logistik, pelabuhan, perdagangan, pendidikan dan usaha usaha bongkar muat.

Sebagai gambaran, kegiatan angkutan laut dalam negeri saat ini sudah sepenuhnya menggunakan kapal berbendera Merah Putih yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional serta diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia. Bandingkan dengan saat Inpres No.5 tahun 2005  diteken dimana kapal-kapal berbendera Indonesia baru mengangkut 44,5% dari 206,3 juta ton muatan domestik.

Jumlah armada niaga berbendera Indonesia juga meningkat secara signifikan. Hingga akhir tahun 2019, berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah armada niaga nasional mencapai 30.825 unit yang terdiri dari armada milik perusahaan pelayaran umum (SIUPAL) sebanyak 27.367 unit dan armada milik perusahaan pelayaran khusus (SIOPSUS) sebanyak 3.458 unit. Terjadi kenaikan sebesar 24.784 unit atau tumbuh empat kali lipat dibandingkan posisi tahun 2005 sebanyak 6.041 unit.

Selain itu, jumlah perusahaan pelayaran nasional hingga akhir tahun 2019 tercatat sebanyak 3.838 unit yang terdiri dari perusahaan umum pelayaran (SIUPAL) sebanyak 3.327 unit dan perusahaan pelayaran khusus (SIOPSUS) sebanyak 511 unit. Terjadi kenaikan sebanyak 2.247 unit atau tumbuh 141% dibandingkan posisi tahun 2005 sebanyak 1.591 unit.

Kini setelah 16 tahun pelaksanaan azas cabotage (28 Maret 2005 – 28 Maret 2021), kegiatan angkutan laut dalam negeri yang masih menggunakan kapal asing adalah kapal-kapal dengan tipe dan jenis khusus untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi, pengeboran, konstruksi lepas pantai, penunjang operasi lepas pantai, pengerukan dan salvage atau pekerjaan bawah air. 

Tantangan ke depan

Salah satu tantangan terbesar di sektor angkutan laut adalah bagaimana menuntaskan azas cabotage dimana operasional kapal khusus untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi, pengeboran, konstruksi lepas pantai, penunjang operasi lepas pantai, pengerukan dan salvage atau pekerjaan bawah air bisa menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia. 

Selama  satu dasawarsa lebih, pemerintah dan pelaku usaha sudah berikhtiar untuk memperbesar ketersediaan kapal-kapal khusus ini, tetapi sejauh ini belum mampu memenuhi seluruh kapal yang dibutuhkan sehingga ketergantungan terhadap kapal asing belum bisa dilepaskan.

Tantangan terbesar lainnya adalah bagaimana memperbesar peran perusahaan pelayaran nasional pada kegiatan angkutan laut ekspor dan impor Indonesia yang volumenya diperkirakan mencapai lebih dari 1 miliar ton, sementara peran angkutan laut nasional masih sangat minim.

Pada kegiatan angkutan ekspor-impor, Indonesia sudah memiliki modal yang baik yakni Peraturan Menteri Perdagangan No.82 tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang telah diubah dengan Permendag No.48 tahun 2018 dan Permendag No.80 tahun 2019.

Melalui Permendag tersebut, kegiatan ekspor batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) serta importir beras maupun barang pemerintah lainnya, diwajibkan menggunakan kapal yang dikuasai perusahaan angkutan nasional. Angkutan laut nasional yang dimaksud di dalam  adalah angkutan laut yang dimiliki atau disewa oleh perusahaan angkutan laut nasional dalam bentuk bare boat, time charter, voyage charter, contract of affreightment atau kontrak sewa kapal lainnya dan diselenggaraan oleh perusahaan angkutan laut nasional.

Meskipun demikian, hingga kini, masih sulit bagi perusahaan angkutan laut nasional untuk dapat bersaing dengan  angkutan laut yang diselenggarakan oleh perusahaan asing. Hal ini dikarenakan beban pajak yang ditanggung perusahaan angkutan laut nasional yang jauh lebih tinggi dibandingkan asing.

Selama ini, perusahaan angkutan laut asing tidak dibebani PPN atau PPh dikarenakan transaksi logistik dilakukan di luar negeri. Sedangkan angkutan laut nasional   dibebani PPN dan PPh.

PPN atas jasa angkutan laut luar negeri Indonesia seyogyanya memperoleh fasilitas bebas sebagaimana diatur berdasarkan PMK No.32 tahun 2019. Namun, PMK tersebut memberikan dua syarat formal  bukti adanya perjanjian tertulis dan  pembayaran yang sah dari penerima ekspor kepada pelaku ekspor.

Kedua syarat  formil itu sulit dipenuhi perusahaan angkutan laut karena hal itu adalah domain pemilik barang sehingga para pelaku usaha pelayaran nasional melalui Indonesian National Shipowners’ Association mengusulkan agar PMK tersebut direvisi dimana terhadap perusahaan angkutan  laut yang melaksanakan angkutan ekspor, memperoleh fasilitas bebas PPN tanpa adanya kedua syarat tersebut.

Di sisi lain, agar lebih kompetitif, Indonesian National Shipowners’ Association mengusulkan agar PPh atas jasa sewa kapal asing  diubah dari PPh  26 dengan rentang 0%, atau 20%   menjadi  PPh 15 sebesar 2,64% tanpa adanya kewajiban memiliki BUT (Badan Usaha Tetap).

Dengan perubahan struktur pajak ini, sektor angkutan laut akan lebih siap bersaing dengan perusahaan angkutan laut luar negeri di dalam menyediakan kapal-kapal untuk mendukung kegiatan ekspor-impor Indonesia. Saat penguasaan kapal nasional pada kegiatan angkutan ekspor-impor meningkat, Indonesia akan menerima keuntungan ekonomi yang sangat signifikan. (Aj/Red)

  • By admin
  • 04 May 2021
  • 971
  • INSA