DEMI POROS MARITIM, DPR DESAK MENKEU KAJI ULANG PMK 120/2017
DEMI POROS MARITIM, DPR DESAK MENKEU KAJI ULANG PMK 120/2017
JAKARTA—Pada tanggal 27 Maret 2019, Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Johnson W. Sutjipto mendampingi sejumlah perwakilan perusahaan galangan kapal di Batam, Kepulauan Riau untuk menghadap Ketua DPR RI Bambang Soesatyo sehubungan dengan dampak Peraturan Menteri Keuangan No.120 tahun 2017 terhadap industri galangan kapal di Batam.
Pada kesempatan tersebut, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo meminta Kementerian Keuangan responsif dalam menyikapi aspirasi dari para pelaku industri galangan kapal di Batam yang merasakan ketidakadilan dalam menjalankan kegiatan berusaha. Keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 120 tahun 2017 yang membebankan bea masuk anti dumping (BMAD) terhadap barang jadi turunan hot-rolled plate (HRP) atau pelat baja dinilai ganjal.
Dia menjelaskan setelah pemberlakuan PMK tersebut, kapal yang diproduksi di dalam negeri dikenakan pajak mencapai 27,5 persen, yang terdiri dari 15 persen bea masuk dan 12,5 persen BMAD. Disisi lain, impor kapal dari luar negeri justru tidak dikenakan pajak.
Menurut dia, sebuah peraturan seharusnya justru membuat mudah pelaku industri dalam mengembangkan usahanya. Bukan justru malah mempersulit apalagi sampai mematikan ataupun menimbulkan ketidakadilan dalam berusaha. “Saya minta Komisi XI DPR RI membahas keberadaan PMK tersebut dalam rapat kerja dengan Kementerian Keuangan," ujar Bamsoet.
Saat ini, para pelaku industri galangan kapal di kawasan Batam mengaku tidak bisa mengekspor 100 lebih kapal hasil produksinya. Jika dibiarkan berlarut, bisa mengancam kelangsungan industri galangan kapal dalam negeri yang telah menyerap ribuan tenaga kerja dan menunjang perekonomian nasional.
“Selain itu, industri galangan kapal juga bisa menjadi kebanggan nasional karena tidak banyak negara di dunia bisa memproduksi kapal. Walaupun bahan bakunya belum 100 persen produksi dalam negeri, namun setidaknya kita sudah mulai mencoba menghasilkan kapal yang diproduksi di dalam negeri," tuturnya.
Dikhawatirkan, apabila industri galangan kapal di Batam terganggu, tidak hanya merugikan para pekerja saja. Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga tidak maksimal. Bukan tak mungkin pada akhirnya akan merembet kepada perekonomian nasional.
“Geliat ekonomi di daerah yang sudah bergerak maju, jangan sampai terhenti akibat kebijakan yang tidak tepat sasaran. Jangan sampai karena mengejar target penerimaan negara melalui pajak, malah menyebabkan industri galangan kapal sampai gulung tikar. Karena, nanti rakyat Indonesia jugalah yang akan dirugikan," paparnya.
Selain itu ia menambahkan, berdasarkan visi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka industri galangan kapal dalam negeri seharusnya mendapatkan dukungan sehingga bisa meningkatkan daya saing. Memperkuat industri galangan kapal dalam negeri sama saja dengan memperkuat kedaulatan negara.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menambahkan pemerintah memang sedang mencari solusi untuk masalah dumping ini. "Kita cari jalan, karena bea masuk anti dumping itu spesifik. Misalnya kalau untuk besi plat ya besi plat saja, lalu tata caranya. Jadi ini kita selesaikan," jelasnya sebagaimana dikutip www.tribunnews.com.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan Pemerintah akan merevisi PMK No. 120./PMK.04/2017. Salah satu poin aturan tersebut mengenakan bea masuk anti dumping untuk Hot Rolled Plate (HRP).
Seperti diketahui, INSA menilai PMK No.120 tahun 2017 telah mematikan industri galangan kapal di Batam dan menjadi mimpi buruk bagi pelaku usaha pelayaran nasional yang memesan kapal di dalam negeri, khususnya di Batam. (Baca Buletin INSA Edisi Februari 2019).
Pengusaha galangan kapal di Batam dan pengusaha pelayaran nasional menjadi resah dan terancam bangkrut.
Sebabnya adalah bea masuk dan BMAD akan diberlakukan terhadap bahan baku kapal yakni Hot Rolled Plate/Ship Plate sesuai dengan PMK No.50 tahun 2016. (*)
- By admin
- 29 Apr 2019
- 1046
- INSA