• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Catatan 13 Tahun UU Pelayaran Penguatan Implementasi Azas Cabotage Tidak Boleh Berhenti

Catatan 13 Tahun UU Pelayaran Penguatan Implementasi Azas Cabotage Tidak Boleh Berhenti

JAKARTA - Pada 7 Mei 2021, Undang-undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran genap berusia 13 tahun. UU  yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada waktu itu disahkan dan diundangkan dan menggantikan UU No. 21 Tahun 1992.

Undang-Undang tentang Pelayaran memuat empat unsur utama yakni angkutan di perairan, kepelabu-hanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim. Pertama, pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan azas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan.

Kedua, pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proporsional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan.

Ketiga, pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat ketentuan yang mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam “International Ship and Port Facility Security Code.”

Keempat, pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya dengan mengakomodasikan ketentuan internasional  terkait seperti “International Convention for the Prevention of Pollution from Ships.”

Perkuat Azas Cabotage

Salah satu urgensi lahirnya UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran adalah memperkuat kebijakan nasional azas cabotage yang sebelumnya tertuang dalam Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Niaga Nasional.

Pasal 8 ayat 1 UU No. 17 tahun 2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Di dalam penjelasannya menerangkan bahwa penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan azas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara sekaligus memberikan kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional.

Sejak dilaksanakan pada 2005, kegiatan angkutan laut dalam negeri Indonesia sudah hampir 100% menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia serta kapalnya juga dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Bandingkan pada awal azas cabotage dilaksanakan yakni pada Mei 2005 dimana kapal-kapal berbendera Indonesia baru mengangkut 44,5% dari 206,3 juta ton muatan domestik.

Hingga saat ini, kegiatan angkutan laut dalam negeri yang masih melibatkan penggunaan kapal asing adalah kapal-kapal dengan tipe dan jenis khusus untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi, pengeboran, konstruksi lepas pantai, penunjang operasi lepas pantai, pengerukan dan salvage atau pekerjaan bawah air. 

Secara ekonomi, kebijakan azas cabotage memberikan dampak yang positif terhadap Indonesia.  Indikatornya dapat dilihat dari jumlah armada niaga nasional berbendera Indonesia serta jumlah perusahaan angkutan laut nasional yang meningkat secara signifikan.

Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, jumlah armada niaga nasional hingga akhir 2019 mencapai 30.825 unit yang terdiri dari armada milik perusahaan pelayaran umum (SIUPAL) sebanyak 27.367 unit dan armada milik perusahaan pelayaran khusus (SIOPSUS) sebanyak 3.458 unit. Terjadi kenaikan sebesar 24.784 unit atau tumbuh empat kali lipat dibandingkan posisi tahun 2005 sebanyak 6.041 unit.

Sedangkan jumlah perusahaan pelayaran nasional hingga akhir tahun 2019 tercatat sebanyak 3.838 unit yang terdiri dari perusahaan umum pelayaran (SIUPAL) sebanyak 3.327 unit dan perusahaan pelayaran khusus (SIOPSUS) sebanyak 511 unit. Terjadi kenaikan sebanyak 2.247 unit atau tumbuh 141% dibandingkan posisi tahun 2005 sebanyak 1.591 unit.

Dengan tujuan azas cabotage adalah untuk melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara serta dampak ekonominya yang demikian besar, maka sudah sepantasnyalah negara memperteguh azas cabotage bahkan memperluas kebijakan ini dengan melirik angkutan ekspor-impor secara lebih serius.

Pemerintah telah mempunyai Peraturan Menteri Perdagangan No.82 tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang telah diubah dengan Permendag No.48 tahun 2018 dan Permendag No.80 tahun 2019.

Di dalam Permendag tersebut,  ekspor batu bara dan crude palm oil (CPO) serta importir beras maupun barang pemerintah lainnya, diwajibkan menggunakan kapal yang dikuasai perusahaan angkutan nasional yakni yang dimiliki atau disewa oleh perusahaan angkutan laut nasional dan diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional.

Kebijakan ini sudah baik dalam rangka memperkuat azas cabotage. Akan tetapi, dibutuhkan kebijakan yang lebih berani untuk memperkuat daya saing kapal-kapal berbendera Indonesia yang beroperasi pada kegiatan angkutan ekspor dan impor karena hingga kini, masih kalah bersaing.

Salah satu penyebabnya adalah beban pajak, baik PPN maupun PPh yang ditanggung perusahaan angkutan laut nasional yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan asing yang tidak dibebani PPN atau PPh dikarenakan transaksi dilakukan di luar negeri. 

Untuk meningkatkan daya saing tersebut, kebijakan pajak atas kegiatan pengangkutan komoditas ekspor dan impor harus diubah. Pertama, PPN atas jasa angkutan laut luar negeri Indonesia seyogyanya memperoleh fasilitas bebas sebagaimana diatur berdasarkan PMK No.32 tahun 2019.

Namun, PMK tersebut memberikan dua syarat formal bukti adanya perjanjian tertulis dan pembayaran yang sah dari penerima ekspor kepada pelaku ekspor yang sulit dipenuhi perusahaan angkutan laut. Kedua, PPh atas jasa sewa kapal asing diubah dari PPh 26 dengan rentang 0%, atau 20%   menjadi PPh 15 sebesar 2,64%  tanpa adanya kewajiban memiliki BUT (Badan Usaha Tetap).

Jika kebijakan pajak ini dapat diterapkan, Indonesia akan menerima dampak ekonomi yang sangat besar seperti kenaikan investasi, berkurangnya defisit neraca jasa, meningkatnya penerimaan negara dari sektor pajak, asuransi dan pembiayaan berkembang serta industri galangan dan komponen kapal ikut bertumbuh.

Dengan demikian, pemberdayaan industri pelayaran benar-benar akan berhasil dan mencapai tujuan sesuai dengan pemikiran awal bagi lahirnya UU No.17 tahun 2008 dimana dunia pelayaran Indonesia dapat berperan di dunia internasional. (Red/Aji)

  • By admin
  • 09 Jun 2021
  • 990
  • INSA