Banyak yang Selesai di 2018, Tapi Masih Ada PR pada 2019
Banyak yang Selesai di 2018, Tapi Masih Ada PR pada 2019
JAKARTA—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) melakukan refleksi industri pelayaran selama 2018. Selama setahun tersebut, usaha dan kerja keras INSA dalam turut serta memberdayakan dan memperjuangkan kepentingan anggota telah membuahkan hasilnya.
Pertama, mendorong diserahkannya kewenangan pemeriksaan statutoria kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri dari Kementerian Perhubungan kepada PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) dan Badan Klasifikasi anggota IACS yang diakui Pemerintah.
Hal itu sudah dilakukan sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 249 tahun 2018, Pemerintah menunjuk hanya BKI untuk melaksanakan survey dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia yang beroperasi di luar negeri sejak Februari tahun 2018.
Kedua, INSA mendorong agar Indonesia, khususnya Pelabuhan Tanjung Priok, dikeluarkan dari daftar War Risk oleh Joint War Committee (JWC), London. Hal itu sudah terjadi sejak Juni 2018 melalui rilis resmi yang dikeluarkan JWC kepada Pemerintah. Perjuangan INSA agar Indonesia dapat dikeluarkan dari daftar War Risk tersebut sudah dilakukan sejak 2016.
Ketiga, INSA mendorong agar program penggunaan bahan bakar minyak (BBM) B-20 dapat diterapkan secara seksama di Indonesia, termasuk ke sektor angkutan laut. Hal itu sudah dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.2026 tahun 2018.
Akan tetapi, kebijakan penggunaan BBM B-20 masih harus disempurnakan agar menjadi lebih baik di 2019 sehingga tujuan program tersebut yakni membantu Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan memangkas defisit neraca jasa yang masih tinggi dapat tercapai.
Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan keberhasilan kebijakan penggunaan BBM B-20 sangat ditentukan oleh faktor keandalan transportasi penunjang distribusi BBM B-20 dan FAME maupun proses pencampuran atau blending antara solar dan FAME menjadi BBM B-20.
Menurut dia, sejak kebijakan BBM B-20 diberlakukan, pemerintah telah memperbaiki sejumlah hal yang selama ini menjadi hambatan seperti proses distribusi FAME yang dipangkas dari 86 titik sehingga tidak efisien menjadi 16 titik dan dinilai lebih efisien.
Ke depan, kata Johnson, Pemerintah agar dapat memastikan proses blending FAME dan solar menjadi BBM B-20 harus tepat dan berkualitas sesuai dengan standar internasional. “Karena sudah ada keluhan dari daerah mengenai hasil pencampuran FAME dan solar yang tidak sesuai dengan spesifikasi internasional sehingga mempengaruhi operasional kapal,” katanya.
Dia mengingatkan, keberhasilan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan BBM B-20 yang berkualitas baik dan sesuai dengan spesifikasi internasional akan menentukan kesiapan Indonesia untuk melaksanakan program BBM B-30 pada tahun 2020. Yang tak kalah pentingnya juga adalah dukungan sistem distribusi dan transportasi yang tepat waktu hingga masalah proses blending yang harus memenuhi kaidah standar mutu internasional. Selain mengenai implementasi BBM B- 20, sejumlah kebijakan yang akan terus diperjuangkan oleh INSA pada 2019 ini adalah sebagai berikut:
Kebijakan Domestik
Pertama, memperjuangkan agar kegiatan survey statutoria selain dilimpahkan kepada Badan Klasifikasi Indonesia, juga diberikan kepada Badan Klasifikasi Asing anggota International Association of Classification Societies (IACS) yang diakui Pemerintah RI.
Kedua, melanjutkan usulan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selama ini, PP tersebut telah memberatkan pelaku usaha pelayaran dikarenakan terdapat 435 pos tarif baru (51%) dan 482 pos tarif (57%) yang naik antara 100% hingga 1.000% dibandingkan dengan pos tarif yang diatur berdasarkan PP No.6 tahun 2009.
Ketiga, mendesak Pemerintah untuk mempercepat penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.82 tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
Berdasarkan kajian INSA, dari dua komoditas ekspor Indonesia yang diatur berdasarkan Permendag No.82 tahun 2017 tersebut, yakni komoditas batu bara dan CPO (Crude Palm Oil), terdapat potensi devisa yang sangat besar dengan perkiraan mencapai US$5.156,28 juta.
Keempat, melanjutkan upaya revisi Surat Edaran SKKMigas No.SRT - 0102/SKKMA0000/2018/S6 tentang Kewajiban Penggunaan BKI dalam operasional Perkapalan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kebijakan tersebut telah memberikan ketidakpastian usaha, terlebih dalam lelang pengadaan kapal yang dilaksanakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) minyak dan gas bumi maupun stakeholders offshore, selalu mensyaratkan pemilik kapal untuk menggunakan klasifikasi yang dapat dipercaya oleh komunitas dan stakeholders maritim dunia serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah.
Mengapa kebijakan tersebut dinilai tidak tepat. Pertama, bertentangan dengan pasal 129 UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang berbunyi: Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
Kedua, bertentangan dengan Pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 61 tahun 2014 yang menyatakan badan klasifikasi terdiri atas badan klasifikasi nasional dan badan klasifikasi asing yang diakui.
Ketiga, bertentangan dengan Sehat pasal 17 ayat 1 UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Kebijakan Internasional
INSA juga mengingatkan sejumlah ketentuan internasional yang harus menjadi perhatian Pemerintah dan masih diperjuangkan INSA pada tahun 2019 ini. Pertama, Pemerintah harus mempersiapkan diri menghadapi pelaksanaan aturan International Maritime Organization (IMO) tentang pembatasan kandungan sulfur (Emisi Oksida Belerang) sebesar 0,5% pada bahan bakar minyak (BBM) kapal niaga yang melayani rute domestik maupun internasional. Aturan tersebut akan berlaku secara efektif mulai 1 Januari 2020.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan BBM dengan kandungan sulfur 0,5%. Jika belum sanggup melaksanakannya, sesuai Anex VI; Regulasi 18 tentang Fuel Oil , Pemerintah wajib melaporkan kepada IMO untuk memperoleh kelonggaran supaya reputasi Indonesia di mata internasional tidak tercoreng. Jika tidak melakukannya, Pemerintah harus mempertimbangkan konsekwensinya.
Kedua, implementasi Ballast Water Management Convention pada kapal- kapal niaga pada 2023 yang bertujuan untuk mengurangi dampak dan species invasif di laut melalui pembuangan air ballast dan sedimen dari suatu perairan ke perairan lainnya.
Hal yang menjadi konsen utama adalah bagaimana menyiapkan penelitian same risk area antara Indonesia dengan negara tetangga seperti Indonesia-Malaysia, Indonesia- Singapura, Indonesia-Filipina. Proses penelitian ini membutuhkan waktu sehingga jika tidak segera dilakukan, pada saat diimplementasikan, kapal- kapal berbendera Indonesia wajib memasang dan berinvestasi beralatan BWM yang tidak hanya mahal , tetapi memerlukan ruangan yang besar.
Dengan berbagai kebijakan yang masih diperjuangkan pada 2019 ini, INSA menegaskan akan selalu bergandengan tangan bersama Pemerintah untuk mensukseskan program pemberdayaan industri pelayaran nasional.
INSA juga akan terus melakukan advokasi masalah keanggotaan dan keorganisasian, baik yang berkaitan dengan isu nasional maupun internasional supaya pelayaran nasional menjadi tuan di negeri sendiri sesuai dengan program Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. (*)
- By admin
- 15 Feb 2019
- 1200
- INSA