• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Banyak yang Selesai di 2018, Tapi Masih Ada PR pada 2019

Banyak yang Selesai di 2018, Tapi Masih Ada PR pada 2019

JAKARTA—Indonesian National  Shipowners’ Association (INSA) melakukan refleksi industri pelayaran  selama 2018. Selama setahun  tersebut, usaha dan kerja keras INSA  dalam turut serta memberdayakan  dan memperjuangkan kepentingan  anggota telah membuahkan hasilnya.

Pertama, mendorong diserahkannya  kewenangan pemeriksaan statutoria  kapal berbendera Indonesia yang  beroperasi di luar negeri dari  Kementerian Perhubungan kepada PT  Biro Klasifikasi Indonesia (Persero)  dan Badan Klasifikasi anggota IACS  yang diakui Pemerintah.

Hal itu sudah dilakukan sesuai dengan  Keputusan Menteri Perhubungan No.  249 tahun 2018, Pemerintah  menunjuk hanya BKI untuk  melaksanakan survey dan sertifikasi  statutoria kapal berbendera Indonesia  yang beroperasi di luar negeri sejak  Februari tahun 2018.

Kedua, INSA mendorong agar  Indonesia, khususnya Pelabuhan  Tanjung Priok, dikeluarkan dari daftar  War Risk oleh Joint War Committee  (JWC), London. Hal itu sudah terjadi  sejak Juni 2018 melalui rilis resmi  yang dikeluarkan JWC kepada Pemerintah. Perjuangan INSA agar  Indonesia dapat dikeluarkan dari daftar  War Risk tersebut sudah dilakukan  sejak 2016.

Ketiga, INSA mendorong agar program  penggunaan bahan bakar minyak  (BBM) B-20 dapat diterapkan secara  seksama di Indonesia, termasuk ke  sektor angkutan laut. Hal itu sudah  dilakukan pemerintah berdasarkan  Peraturan Menteri ESDM No.2026  tahun 2018.

Akan tetapi, kebijakan penggunaan  BBM B-20 masih harus disempurnakan  agar menjadi lebih baik di 2019  sehingga tujuan program tersebut yakni  membantu Pemerintah untuk  meningkatkan penerimaan negara dan  memangkas defisit neraca jasa yang  masih tinggi dapat tercapai.

Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto  mengatakan keberhasilan kebijakan  penggunaan BBM B-20 sangat  ditentukan oleh faktor keandalan  transportasi penunjang distribusi BBM  B-20 dan FAME maupun proses  pencampuran atau blending antara  solar dan FAME menjadi BBM B-20.

Menurut dia, sejak kebijakan BBM B-20  diberlakukan, pemerintah telah memperbaiki sejumlah hal yang  selama ini menjadi hambatan seperti  proses distribusi FAME yang  dipangkas dari 86 titik sehingga tidak  efisien menjadi 16 titik dan dinilai lebih  efisien.

Ke depan, kata Johnson, Pemerintah  agar dapat memastikan proses  blending FAME dan solar menjadi  BBM B-20 harus tepat dan berkualitas  sesuai dengan standar internasional.  “Karena sudah ada keluhan dari  daerah mengenai hasil pencampuran  FAME dan solar yang tidak sesuai  dengan spesifikasi internasional  sehingga mempengaruhi operasional  kapal,” katanya.

Dia mengingatkan, keberhasilan  Pemerintah untuk menjamin  ketersediaan BBM B-20 yang  berkualitas baik dan sesuai dengan  spesifikasi internasional akan  menentukan kesiapan Indonesia untuk  melaksanakan program BBM B-30  pada tahun 2020. Yang tak kalah  pentingnya juga adalah dukungan  sistem distribusi dan transportasi yang  tepat waktu hingga masalah proses  blending yang harus memenuhi  kaidah standar mutu internasional. Selain mengenai implementasi BBM B-  20, sejumlah kebijakan yang akan terus  diperjuangkan oleh INSA pada 2019 ini  adalah sebagai berikut:

Kebijakan Domestik

Pertama, memperjuangkan agar  kegiatan survey statutoria selain  dilimpahkan kepada Badan Klasifikasi  Indonesia, juga diberikan kepada  Badan Klasifikasi Asing anggota  International Association of  Classification Societies (IACS) yang  diakui Pemerintah RI.

Kedua, melanjutkan usulan revisi  Peraturan Pemerintah (PP) No. 15  tahun 2016 tentang Penerimaan  Negara Bukan Pajak (PNBP). Selama  ini, PP tersebut telah memberatkan  pelaku usaha pelayaran dikarenakan  terdapat 435 pos tarif baru (51%) dan  482 pos tarif (57%) yang naik antara  100% hingga 1.000% dibandingkan  dengan pos tarif yang diatur  berdasarkan PP No.6 tahun 2009.

Ketiga, mendesak Pemerintah untuk  mempercepat penerapan Peraturan  Menteri Perdagangan (Permendag)  No.82 tahun 2017 tentang Ketentuan  Penggunaan Angkutan Laut dan  Asuransi Nasional untuk Ekspor dan  Impor Barang Tertentu.

Berdasarkan kajian INSA, dari dua  komoditas ekspor Indonesia yang diatur  berdasarkan Permendag No.82 tahun  2017 tersebut, yakni komoditas batu  bara dan CPO (Crude Palm Oil),  terdapat potensi devisa yang sangat  besar dengan perkiraan mencapai  US$5.156,28 juta.

Keempat, melanjutkan upaya revisi  Surat Edaran SKKMigas No.SRT -  0102/SKKMA0000/2018/S6 tentang  Kewajiban Penggunaan BKI dalam  operasional Perkapalan pada Kegiatan  Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Kebijakan tersebut telah memberikan  ketidakpastian usaha, terlebih dalam  lelang pengadaan kapal yang  dilaksanakan Kontraktor Kontrak Kerja  Sama (K3S) minyak dan gas bumi  maupun stakeholders offshore, selalu  mensyaratkan pemilik kapal untuk  menggunakan klasifikasi yang dapat  dipercaya oleh komunitas dan  stakeholders maritim dunia serta diakui  keberadaannya oleh Pemerintah.

Mengapa kebijakan tersebut dinilai  tidak tepat. Pertama, bertentangan  dengan pasal 129 UU No.17 tahun  2008 tentang Pelayaran yang berbunyi:  Badan klasifikasi nasional atau badan  klasifikasi asing yang diakui dapat  ditunjuk melaksanakan pemeriksaan  dan pengujian terhadap kapal untuk  memenuhi persyaratan keselamatan  kapal.

Kedua, bertentangan dengan Pasal 3  ayat 1 Peraturan Menteri Perhubungan  (Permenhub) No. 61 tahun 2014 yang  menyatakan badan klasifikasi terdiri  atas badan klasifikasi nasional dan  badan klasifikasi asing yang diakui.

Ketiga, bertentangan dengan Sehat  pasal 17 ayat 1 UU No. 5 tahun 1999  tentang Larangan Praktek Monopoli  dan Persaingan Usaha Tidak yang  berbunyi: Pelaku usaha dilarang  melakukan penguasaan atas produksi  dan atau pemasaran barang dan atau  jasa yang dapat mengakibatkan  terjadinya praktek monopoli dan atau  persaingan usaha tidak sehat.

Kebijakan Internasional

INSA juga mengingatkan sejumlah  ketentuan internasional yang harus  menjadi perhatian Pemerintah dan  masih diperjuangkan INSA pada tahun  2019 ini. Pertama, Pemerintah harus  mempersiapkan diri menghadapi  pelaksanaan aturan International  Maritime Organization (IMO) tentang  pembatasan kandungan sulfur (Emisi  Oksida Belerang) sebesar 0,5% pada  bahan bakar minyak (BBM) kapal  niaga yang melayani rute domestik  maupun internasional. Aturan tersebut  akan berlaku secara efektif mulai 1  Januari 2020.

Pemerintah memiliki tanggung jawab  untuk menyediakan BBM dengan kandungan sulfur 0,5%. Jika belum  sanggup melaksanakannya, sesuai  Anex VI; Regulasi 18 tentang Fuel Oil ,  Pemerintah wajib melaporkan kepada  IMO untuk memperoleh kelonggaran  supaya reputasi Indonesia di mata  internasional tidak tercoreng. Jika tidak  melakukannya, Pemerintah harus  mempertimbangkan konsekwensinya.

Kedua, implementasi Ballast Water  Management Convention pada kapal-  kapal niaga pada 2023 yang bertujuan  untuk mengurangi dampak dan species  invasif di laut melalui pembuangan air  ballast dan sedimen dari suatu perairan  ke perairan lainnya.

Hal yang menjadi konsen utama adalah  bagaimana menyiapkan penelitian  same risk area antara Indonesia  dengan negara tetangga seperti  Indonesia-Malaysia, Indonesia-  Singapura, Indonesia-Filipina. Proses  penelitian ini membutuhkan waktu  sehingga jika tidak segera dilakukan,  pada saat diimplementasikan, kapal-  kapal berbendera Indonesia wajib  memasang dan berinvestasi beralatan  BWM yang tidak hanya mahal , tetapi  memerlukan ruangan yang besar.

Dengan berbagai kebijakan yang  masih diperjuangkan pada 2019 ini,  INSA menegaskan akan selalu  bergandengan tangan bersama  Pemerintah untuk mensukseskan  program pemberdayaan industri  pelayaran nasional.

INSA juga akan terus melakukan  advokasi masalah keanggotaan dan  keorganisasian, baik yang berkaitan  dengan isu nasional maupun  internasional supaya pelayaran  nasional menjadi tuan di negeri sendiri  sesuai dengan program Presiden Joko  Widodo untuk mewujudkan Indonesia  sebagai Poros Maritim Dunia. (*)

  • By admin
  • 15 Feb 2019
  • 1072
  • INSA