• +62 21 351 4348
  • sekretariat@dppinsa.com

Angkutan Laut Khusus Asing Di Wilayah Perairan Indonesia Setelah Omnibus Law

Angkutan Laut Khusus Asing Di Wilayah Perairan Indonesia Setelah Omnibus Law

PRESIDEN Joko Widodo mengajak kita semua untuk tidak lagi memunggungi lautan. Jokowi sangat memahami pentingnya pemanfaatan wilayah perairan Indonesia, hal ini sesuai dengan fakta yang ada bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, yang memiliki total 17.504 pulau yang terhubung dalam wilayah maritim dengan total luas kurang lebih 6.4 juta km2.

Salah satu contoh pentingnya pemanfaatan laut ialah pada usaha pemerintah memperkenalkan kebijakan tol laut khususnya pelayaran. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah-daerah di luar Jawa sehingga diharapkan melalui lalu lintas konektivitas yang baik di laut dapat mempercepat pembangunan dan pemerataan.

Instrumen hukum mengenai pelayaran diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran yang diganti melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran (selanjutnya disebut UU 17/2008).

Pada tulisan ini akan dijelaskan pengaturan mengenai penggunaan kapal asing yang mengalami perubahan setelah pada 2 November 2020 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020 atau UU Cipta Kerja), peraturan yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya. Peraturan ini sendiri terdiri dari 1.187 halaman, dan pengaturan mengenai kapal asing terdapat pada halaman 391 yang menyisipkan Pasal 14A pada UU 17/2008.

Pada prinsipnya Pasal 14A UU 17/2008 mengatur bahwa kapal asing  dapat melakukan kegiatan khusus di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendara Indonesia belum tersedia (atau belum cukup tersedia) dan bukan termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang atau dengan kata lain kapal asing tersebut menunjang kegiatan usaha tertentu.

Hal menarik yang menjadi catatan ialah produk turunan dari Pasal 14A berkenaan dengan kapal asing, yakni berupa peraturan pemerintah belum dikeluarkan hingga batas waktu tiga bulan sejak dikeluarkannya UU 11/2020, adapun peraturan pemerintah yang dikeluarkan ialah Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran (selanjutnya disebut PP 31/2021), tetapi tidak menyebut perihal penggunaan kapal asing di perairan Indonesia untuk usaha tertentu, sehingga masih menggunakan Peraturan Pemerintah 2011 tentang Angkutan di Perairan.

Pemerintah menyadari bahwa diperlukan instrumen hukum sehingga kapal berbendera asing dapat beroperasi di Indonesia guna menunjang kelangsungan kegiatan usaha tertentu. Hal ini diatur melalui Pasal 206a Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (selanjutnya disebut PP 22/2011) mengatur bahwa kapal asing dapat melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri di wilayah perairan Indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum cukup tersedia.

Kebijakan untuk kapal asing ini terbuka hanya pada kapal yang melakukan kegiatan.

a. Survei minyak dan gas bumi.

b. Pengeboran.

c. Konstruksi lepas pantai.

d. Penunjang operasi lepas pantai.

e. Pengerukan

f.  Salvage atau pekerjaan bawah air. 

Selain enam hal ini ditambahkan lagi dua kegiatan yang diperbolehkan yakni: kegiatan kelistrikan dan konstruksi pembangunan dermaga. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (7) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 2 tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Persetujuan Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain di Wilayah Perairan Indonesia yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan Barang (selanjutnya disebut Permen 2/2021).

Permen 2/2021 sebagai produk turunan dari UU 11/2020 dan PP 22/2011. Peraturan Menteri yang diundangkan pada 1 Februari 2021 ini mencabut Permen 92 tahun 2018 dan perubahannya yakni Permen 46 tahun 2019.  Melalui Pasal 3 ayat (1) Permen 2/2021 pengoperasian Kapal Asing, yang melakukan kegiatan lain, wajib dilakukan oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional setelah sebelumnya wajib memiliki PPKA (Persetujuan Penggunaan Kapal Asing).  Perusahaan Angkutan Laut Nasional ini bertanggung jawab penuh terhadap penggunaan Kapal Asing sampai dengan keluar dari wilayah perairan Indonesia. 

Perusahaan Angkutan Laut Nasional (selanjutnya disebut PALN) yang dimaksud ialah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan luar negeri.  PALN tersebut dalam memperoleh PPKA mengajukan permohonan secara dalam jaringan (online) kepada Menteri Perhubungan melalui Direktur Jenderal Perhubungan Laut dalam waktu paling lama tujuh hari kerja.  Nantinya permohonan yang memenuhi persyaratan akan dievaluasi oleh Tim yang terdiri atas unit: 

  1. Unit Bidang Hukum Sekretariat Jenderal dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut;
  2. Bidang lalu lintas dan angkutan laut;
  3. Bidang kepelabuhan;
  4. Bidang perkapalan dan kepelautan;
  5. Bidang kesatuan penjagaan laut dan pantai; dan
  6. Bidang kenavigasian.

PPKA yang telah diperoleh berlaku selama enam bulan, dan dapat diperpanjang dengan melampirkan justifikasi, berita acara pengawasan tim terpadu sebelum jangka waktu PPKA berakhir melalui aplikasi dalam jaringan.  Kapal Asing yang memiliki PPKA dengan kontrak kerja lebih dari dua tahun harus didaftarkan menjadi Kapal Berbendera Indonesia. 

Setelah pekerjaan/kegiatannya selesai maka Kapal Asing tersebut wajib meninggalkan perairan Indonesia, kecuali jenis dan spesifi-kasi untuk kegiatan pengeboran. Dalam hal Kapal Asing memiliki PPKA yang masih berlaku dan ingin kembali ke perairan Indonesia untuk melakukan kegiatan yang sama sesuai dengan PPKA sebelumnya, maka diwajibkan mengajukan permohonan PPKA yang baru. 

Pemilik Pekerjaan  diwajibkan untuk memprioritaskan pekerjaan kepada Perusahaan Angkutan Laut Nasional atau pemilik Kapal Berbendera Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan proses publikasi pengadaan Kapal Berbendera Indonesia.  Namun dalam hal terdapat kebutuhan penggunaan kapal asing dalam kondisi darurat, permohonan PPKA tidak perlu melampirkan bukti pengadaan Kapal Berbendara Indonesia. Hal-hal yang dimaksud dengan kondisi darurat seperti:

  1. Kegiatan untuk mengatasi dampak yang disebabkan terjadinya kecelakaan atau kejadian yang mengganggu keselamatan pelayaran;
  2. Kegiatan pencarian dan pertolongan atau investigasi; dan
  3. Kegiatan untuk mengatasi akibat terjadinya bencana alam.
  4. Sanksi administratif bagi PALN pemegang PPKA berupa peringatan tertulis, pembekuan izin usaha, atau pencabutan izin usaha. Peringatan tertulis dikenai sebanyak satu kali untuk jangka waktu paling lama lima hari kerja. Dalam hal pemegang PPKA tidak melakukan kewajibannya sampai berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis, maka pemegang PPKA dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan izin usaha angkutan laut.  Pembekuan izin usaha ini dikenakan paling lama lima hari kerja. Dalam hal pemegang PPKA tidak melakukan kewajibannya sampai berakhirnya jangka waktu pembekuan izin usaha, maka izin usahanya dicabut.  Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan diperairan tanpa izin usaha dapat dipidana paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),  dan bagi pelanggar korporasi maka sanksi pidana dendanya akan dikali tiga.

Kesimpulan.

Peran dewan pengurus pusat Indonesian National Shipowners’ Association penting dalam memberikan pertimbangan atau masukan kepada tim dalam melakukan proses evaluasi dalam mengeluarkan PPKA.  Peranan ini penting karena Indonesian National Shipowners’ Association yang dianggap mengetahui kemampuan pelaku usaha Indonesia sehingga dapat memberikan masukan kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

  • By admin
  • 03 Apr 2021
  • 1849
  • INSA